Sound Horeg: Gema Budaya Akar Rumput di Simpang Jalan Kontroversi

Ilustrasi: Sound Horeg (AI generated image by Ideogram.ai)

Penulis: Antonius Harya Febru Widodo

Ilustrasi: Sound Horeg (AI generated image by Ideogram.ai)
“Sound horeg” dalam aksi: dinding suara raksasa diarak sebagai pesta rakyat yang menggetarkan tubuh dan ruang sosial. (AI generated image by Ideogram.ai)

Memahami Getaran Budaya Kontemporer

Indonesia kembali diramaikan oleh sebuah gejala budaya akar rumput yang unik dan kontroversial: sound horeg. Fenomena ini merujuk pada penggunaan sistem tata suara berskala masif yang tidak hanya menyuguhkan musik berfrekuensi tinggi, tapi juga menciptakan sensasi getaran fisik yang ekstrem melalui dentuman bass intens.

Nama “sound horeg” sendiri merupakan kombinasi dari kata sound (bahasa Inggris) dan horeg (bahasa Jawa, yang berarti bergetar hebat), menegaskan bahwa pengalaman yang ditawarkan bukan sekadar pendengaran, tetapi juga pengalaman fisik yang mengguncang tubuh.

Ciri khas utama sound horeg adalah jajaran pengeras suara raksasa yang ditumpuk di atas truk-truk besar dan digerakkan dalam parade atau karnaval. Musik yang dimainkan umumnya bergenre elektronik, dengan frekuensi rendah yang menghentak dan menggetarkan.

Berakar kuat di wilayah Jawa Timur, sound horeg kini telah menjalar ke berbagai daerah, membawa serta dualitasnya: di satu sisi sebagai pesta rakyat yang ekspresif dan penggerak ekonomi lokal; di sisi lain sebagai pemicu gangguan ketertiban, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial.

Artikel ini mengurai dinamika sound horeg sebagai praktik budaya yang berada di persimpangan jalan antara ekspresi komunal dan polusi suara, antara perayaan akar rumput dan label “budaya rendah”.

Dengan menelusuri sejarah, teknologi, estetika, dampak sosial, dan polemik seputarnya, kita diajak memahami bagaimana sound horeg memantulkan denyut kebudayaan Indonesia hari ini.

Jejak Sejarah: Dari Malang Menyebar ke Nusantara

Malang dikenal sebagai titik mula kemunculan sound horeg. Meski tradisi penggunaan sound system dalam hajatan masyarakat sudah lama hadir, versi ekstrem yang dikenal sebagai “horeg” mulai mencuat sekitar 2014, ditandai dengan parade sound system raksasa yang memancing decak kagum sekaligus kekhawatiran.

Dipercaya, fenomena ini berangkat dari keinginan masyarakat desa untuk mereplikasi gegap gempita diskotik kota—namun dengan cara yang lebih terjangkau dan kontekstual.

Faktor pendukung lainnya termasuk kemajuan teknologi audio, meningkatnya keahlian modifikasi di kalangan lokal, serta tumbuhnya komunitas seperti Sound Malang Bersatu (didirikan 2017) yang menandai fase formalisasi subkultur ini.

Pascapandemi COVID-19, ketika masyarakat haus akan hiburan publik, popularitas sound horeg melonjak pesat. Ia pun berkembang sebagai bentuk adaptasi lokal terhadap tren global, sekaligus wadah perayaan identitas komunal.

Anatomi Horeg: Teknologi dan Sensasi

Satu unit sound horeg bukanlah sistem suara biasa. Ia terdiri dari tumpukan speaker berskala besar, amplifier berdaya tinggi, dan kadang dilengkapi teknologi audio impor. Sistem ini diangkut dengan truk modifikasi, menciptakan dinding suara bergerak yang menggetarkan tanah dan langit.

Biaya sewanya bisa mencapai puluhan juta rupiah per malam, mencerminkan skala ekonominya yang tidak main-main.

Sound horeg juga melahirkan praktik eksklusif berupa pemesanan trek musik kustom. Produser lokal (bahkan internasional) menciptakan lagu khusus yang mencantumkan nama sound system pemesan—sebagai bentuk branding sekaligus ajang adu gengsi.

Kehadiran DJ dan penari menjadi bagian dari pengalaman pertunjukan yang lengkap. Semua dikemas dalam suguhan visual seperti lampu sorot warna-warni dan laser, mempertegas identitas sound horeg sebagai “diskotik berjalan”.

Estetika sound horeg berfokus pada intensitas fisik. Alih-alih menjunjung kejernihan suara seperti dalam hi-fi audio, sound horeg merayakan dentuman bass, volume ekstrem, dan efek getar yang menghantam tubuh.

Di situlah letak kekuatannya: membentuk ruang bersama yang penuh energi, di mana musik dirasakan secara kolektif dan meriah.

Bukan DWP Murahan: Konteks dan Kontras

Beberapa menyebut sound horeg sebagai versi rakyat dari Djakarta Warehouse Project (DWP). Namun, perbandingan ini lebih bersifat ilustratif daripada sejajar secara substansial.

DWP adalah festival musik elektronik berstandar global, dengan tiket mahal, artis internasional, dan produksi profesional. Sebaliknya, sound horeg hadir di ruang publik desa atau kota kecil, berskala komunitas, dengan penekanan pada partisipasi dan sensasi kolektif.

Sound horeg tidak berpretensi mengejar fidelity suara atau kurasi DJ elite. Ia merayakan remix lokal, musik kustom, dan estetika kasar yang justru mencerminkan keberanian untuk berbeda.

Audiensnya pun tidak dibatasi pada kelas menengah urban, tetapi mencakup berbagai usia dan latar sosial, memperkuat statusnya sebagai ruang inklusif yang mengayomi ekspresi rakyat.

Dimensi Sosio-Kultural: Perekat Komunitas, Penanda Identitas

Lebih dari sekadar hiburan, sound horeg telah berkembang menjadi subkultur yang kokoh. Ia menyatukan berbagai aktor—pemilik sistem, produser musik, DJ, kru teknis, hingga penggemar fanatik yang menyebut diri mereka sebagai “horeg mania”.

Simbol-simbol seperti logo, stiker truk, kaus komunitas, dan jargon internal memperkuat rasa memiliki dan identitas kolektif.

Partisipasi dalam ekosistem ini menjadi ajang aktualisasi diri, status sosial, bahkan bentuk modernitas. Studi di Pulau Mengare (Gresik) menunjukkan bagaimana sound horeg menjadi sarana penegasan identitas budaya di tengah masyarakat pesisir.

Di banyak tempat, hajatan tanpa sound horeg terasa hambar. Ia menjelma menjadi ritual kontemporer yang memperkuat solidaritas dan menyambung kebersamaan.

Ekonomi Getar: Perputaran Modal di Akar Rumput

Di balik suara yang menggema, sound horeg menggerakkan ekonomi lokal. Inti bisnisnya terletak pada penyewaan sound system berbiaya tinggi.

Tapi efek ekonominya jauh meluas: dari produser musik kustom, teknisi, DJ, bengkel modifikasi, hingga UMKM yang berjualan makanan, minuman, atau merchandise di sekitar lokasi acara.

Jasa parkir pun menjadi ladang pendapatan, dengan omzet yang bisa mencapai puluhan juta rupiah dalam satu perhelatan besar.

Sound horeg juga mulai dilirik sebagai potensi wisata budaya. Festival-festival bertema kompetisi sound system bukan tak mungkin menjadi atraksi bagi pelancong.

Namun, sebagian pengamat mengkritik bahwa perputaran ekonominya cenderung konsumtif dan memperkuat hierarki modal dalam komunitas: hanya yang punya dana besar bisa bersaing dalam gengsi.

Debat “Budaya Rendah”: Benturan Selera dan Kuasa

Fenomena sound horeg berada di wilayah abu-abu antara apresiasi dan resistensi. Sebagian menyambutnya sebagai inovasi budaya rakyat, sebagian lain mencelanya sebagai gangguan tak berfaedah.

Kritik kerap berfokus pada aspek negatif: kebisingan di atas batas aman, kerusakan bangunan akibat getaran, risiko kesehatan, hingga konflik sosial antarwarga atau antarkru.

Label “budaya rendah” sering disematkan, dengan alasan tidak memenuhi standar estetika “berkelas”. Namun, pendekatan ini problematik.

Ia mengabaikan konteks sosial sound horeg, serta fungsi sosialnya dalam membangun koneksi, perayaan, dan ekspresi. Tokoh seperti Agus Sunoto mengapresiasi kreativitasnya, meski menekankan perlunya regulasi.

Pelabelan ini tak lepas dari relasi kuasa. Kelompok dominan sering mengontrol wacana estetika, meminggirkan budaya kelompok lain. Hegemoni estetika menaturalisasi selera tertentu sebagai superior.

Sound horeg, dengan estetika “kasar”, menantang norma ini, memprioritaskan pengalaman visceral, keras, komunal. Mempertahankannya bisa dilihat sebagai perlawanan terhadap elitisme budaya dan penegasan hak komunitas mendefinisikan budayanya.

Paradoksnya, ia simbol gengsi di dalam komunitas, tapi dicap rendah dari luar, menunjukkan kontekstualitas nilai budaya.

Menavigasi Dampak Negatif dan Regulasi

Tak bisa dimungkiri, sound horeg memproduksi eksternalitas negatif yang perlu ditanggapi serius. Suara hingga 130 desibel bisa merusak pendengaran. Getaran bisa meretakkan dinding rumah.

Konflik horizontal dan kecelakaan lalu lintas sering muncul. Namun, respons terhadapnya tidak bisa berupa pelarangan semena-mena.

Beberapa daerah telah mencoba menerapkan regulasi, seperti batas volume, waktu operasional, dan zona aman. Namun, penegakan masih lemah.

Solusi ideal bukanlah represi, melainkan dialog yang partisipatif. Komunitas sound horeg perlu dilibatkan dalam penataan praktik: bagaimana membuat acara yang aman, menghormati hak warga lain, tapi tetap merayakan ekspresi budaya.

Kompleksitas Gema Indonesia Modern

Sound horeg adalah fenomena multifaset: teknologi, estetika intensitas fisik, identitas komunal, motor ekonomi akar rumput, arena kontestasi budaya, dan penghasil eksternalitas sosial.

Ia tak bisa direduksi jadi hiburan atau gangguan semata. Tantangan utamanya adalah mendamaikan aspek positif (kebersamaan, ekonomi) dengan dampak negatif (polusi, kerusakan, risiko kesehatan, konflik).

Jalan ke depan melibatkan adaptasi, negosiasi, dan regulasi partisipatif. Pengelolaan dampak negatif bisa membuka potensi pengakuan formal. Namun, pertanyaan mendasar tentang keberlanjutan karakteristik ekstremnya tetap ada.

Sound horeg adalah cermin kompleksitas Indonesia kontemporer: interaksi lokal-global, adaptasi teknologi akar rumput, ketegangan kelas-selera, kreativitas komunitas, dan negosiasi terus-menerus tentang nilai budaya di ruang publik. Posisinya akan terus dinegosiasikan.

Antonius Harya Febru Widodo
Penulis:
Antonius Harya Febru Widodo

Staf Ahli Komisi D DPRD Kabupaten Sleman, Yogyakarta

Editor: Iman Haris M

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *