Terik matahari tak menghalangi ribuan orang yang memadati terminal bus siang itu. Asap kendaraan dan debu jalanan menyatu dengan impian mereka untuk kembali ke tanah kelahiran.
Mudik bukan sekadar perjalanan pulang. Ia adalah ritus sosial, penanda identitas, dan momentum yang menyatukan kembali individu dengan akar budayanya. Setiap tahun, jutaan orang menempuh perjalanan jauh, melintasi kota dan desa, menembus kemacetan dan kelelahan, demi satu tujuan: kembali ke kampung halaman.
Fenomena ini bukan sekadar peristiwa tahunan, tetapi juga cerminan nilai-nilai budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam kajian antropologi, Clifford Geertz (1960) menyoroti bagaimana tradisi dan ritual kolektif, seperti mudik, berfungsi sebagai alat perekat sosial yang memperkuat identitas kelompok.
Sementara itu, sosiolog Pierre Bourdieu (1977) menjelaskan konsep habitus, di mana praktik-praktik budaya seperti mudik menjadi bagian dari kebiasaan yang diwariskan lintas generasi.
Mudik dan Ikatan Kultural
Sejarah mudik dapat ditelusuri jauh sebelum era modernisasi transportasi. Pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, perantau—baik yang merantau untuk berdagang, belajar, atau mengabdi kepada penguasa—sering kali kembali ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga pada momen-momen penting, seperti panen raya atau perayaan keagamaan.
Dalam budaya Jawa, terdapat tradisi “Padusan” menjelang Ramadan, yang menandai penyucian diri sebelum memasuki bulan suci. Tradisi serupa juga ditemukan dalam masyarakat Bugis dengan “Mappalili”, sebuah ritual menjelang musim tanam yang sering kali melibatkan perantau yang kembali untuk berpartisipasi.
Tradisi mudik semakin menguat dengan masuknya Islam dan berkembangnya tradisi merayakan Idulfitri sebagai momen rekonsiliasi dan silaturahmi. Hal ini sejalan dengan konsep “pulang” dalam budaya Jawa yang lebih luas dari sekadar kembali ke rumah; ia mencerminkan kerinduan terhadap akar dan asal-usul.
Konsep “mulih” atau “wangsul” dalam budaya Jawa, merupakan sebuah perjalanan kembali yang sarat makna spiritual dan sosial. Hal ini dapat dikaitkan dengan pemikiran Emile Durkheim tentang solidaritas mekanik dalam masyarakat tradisional, di mana keterikatan emosional terhadap komunitas asal tetap kuat meskipun individu telah bermigrasi.
Selain itu, Clifford Geertz dalam kajiannya tentang budaya Jawa, khususnya dalam The Religion of Java, membahas struktur sosial dan nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat Jawa, termasuk bagaimana ritual dan tradisi membentuk identitas kelompok.
Meski buku ini tidak secara spesifik membahas ritual kepulangan, konsep yang diuraikan dapat membantu memahami bagaimana mudik berfungsi sebagai mekanisme sosial yang memperkuat keterikatan komunitas. menyoroti bagaimana ritual-ritual kepulangan, termasuk mudik, menjadi bagian dari sistem nilai yang mempertahankan identitas kolektif.
Antropolog James C. Scott dalam “Weapons of the Weak” (1985) juga menyoroti bagaimana migrasi dan kembalinya perantau dapat menjadi bentuk perlawanan simbolis terhadap dominasi ekonomi perkotaan, dengan tetap mempertahankan hubungan dengan komunitas asal.
Ritual dan Tradisi dalam Mudik
Selain perjalanan itu sendiri, mudik juga sarat dengan ritual yang menambah kekayaan budayanya. Beberapa keluarga masih mempertahankan tradisi selamatan sebelum berangkat, mendoakan keselamatan di perjalanan.
Sesampainya di kampung halaman, para pemudik sering kali melakukan ziarah ke makam leluhur, sebuah bentuk penghormatan kepada mereka yang telah mendahului. Dalam masyarakat Sunda, tradisi “Nyekar”—ziarah ke makam orang tua sebelum Idulfitri—masih banyak dilakukan oleh para pemudik.
Makanan khas juga menjadi bagian tak terpisahkan dari mudik. Di berbagai daerah, kepulangan seseorang disambut dengan hidangan-hidangan istimewa yang melambangkan kehangatan keluarga. Di Jawa, ketupat bukan sekadar makanan Lebaran, tetapi juga simbol penyucian diri setelah menempuh perjalanan panjang.
Dalam kajian H.J. de Graaf (1989) tentang tradisi Jawa, ketupat dikaitkan dengan filosofi ‘ngaku lepat’ (mengakui kesalahan) dan ‘laku papat’ (empat tindakan spiritual), yang mencerminkan perjalanan seseorang dalam mencari penyucian diri dan kembali ke keseimbangan sosial.
Sementara itu, di Minangkabau, rendang dan lemang menjadi hidangan yang wajib tersaji untuk menyambut sanak saudara yang pulang dari rantau. Dalam budaya Betawi, terdapat tradisi “Ngejot”, yakni berbagi makanan dengan tetangga saat Lebaran, yang erat kaitannya dengan konsep gotong royong.
Mudik sebagai Cerminan Perubahan Sosial
Seiring dengan perkembangan zaman, cara orang melakukan mudik juga mengalami perubahan. Jika dahulu mudik lebih didominasi oleh perjalanan darat dengan kendaraan umum atau pribadi, kini opsi transportasi semakin beragam dengan adanya pesawat terbang dan kereta cepat.
Namun, esensi mudik tetap sama: perjalanan kembali ke akar budaya dan tradisi. Teknologi modern memang telah mengubah cara orang melakukan perjalanan—dengan pemesanan tiket daring, jalur transportasi yang lebih efisien, hingga kemudahan komunikasi melalui media sosial. Akan tetapi, makna mudik sebagai momen memperkuat ikatan keluarga dan komunitas tetap bertahan, meskipun cara merayakannya terus berkembang.
Di sisi lain, mudik juga mencerminkan dinamika ekonomi dan sosial. Banyak pemudik yang kembali dengan simbol-simbol keberhasilan—baik dalam bentuk barang, kendaraan, maupun cerita kesuksesan di perantauan.
Sosiolog Emile Durkheim dalam “The Division of Labor in Society” (1893) menjelaskan bahwa peristiwa sosial seperti mudik mencerminkan solidaritas organik, di mana individu yang tersebar dalam struktur sosial yang berbeda tetap merasa terhubung melalui ritual bersama.
Mudik: Lebih dari Sekadar Perpindahan Orang
Pada akhirnya, mudik bukan sekadar pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Ia adalah tradisi yang merawat ingatan kolektif, menghubungkan masa lalu dan masa kini, serta memperkuat jalinan kekerabatan.
Dalam setiap perjalanan mudik, ada kisah yang terjalin: tentang harapan, pengorbanan, dan kebersamaan yang terus dijaga lintas generasi.
Di tengah segala tantangan yang menyertainya—macet, biaya yang besar, bahkan risiko di jalan—mudik tetap menjadi ritual yang dinantikan. Sebab, di ujung perjalanan itu, ada kehangatan yang menunggu, ada keluarga yang menyambut dengan tangan terbuka, dan tradisi yang tetap lestari—seperti momen berbagi ketupat dalam budaya Jawa atau ziarah ke makam leluhur dalam tradisi Sunda.
Bagi banyak orang, mudik bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga sebuah ritual yang menghidupkan kembali ingatan kolektif dan nilai-nilai budaya yang diwariskan turun-temurun.