Mudik lebaran punya sejuta cerita. Ada sejarah, asal usul dan makna yang tersimpan di setiap ceritanya. Lebaran tahun ini, apakah Anda sudah siap mudik juga?
Setiap menjelang Idul Fitri, jutaan orang di Indonesia berbondong-bondong kembali ke kampung halaman dalam sebuah tradisi yang dikenal sebagai mudik lebaran. Tradisi ini bukan hanya milik umat Muslim, tetapi juga menjadi momen bagi banyak orang untuk berlibur dan berkumpul dengan keluarga.
Perjalanan mudik selalu penuh cerita. Kemacetan panjang, antrean tiket yang mengular, dan kantuk di perjalanan panjang tak mengalahkan semangat untuk pulang. Tahun ini, jumlah pemudik diperkirakan mencapai 146,48 juta orang atau sekitar 52% dari populasi Indonesia (Kontan, 2025). Mudik bukan sekadar ritual sosial, tetapi juga berdampak besar pada ekonomi dan infrastruktur.
Di sisi ekonomi, peningkatan jumlah pemudik menggerakkan berbagai sektor, dari transportasi, perhotelan, hingga usaha kecil. Namun, lonjakan pemudik juga membawa tantangan, seperti konsumsi bahan bakar yang meningkat, polusi udara, dan tekanan terhadap sistem transportasi yang sering kewalahan. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi mudik tidak hanya memiliki nilai sosial dan budaya, tetapi juga memerlukan perencanaan matang untuk mengurangi dampak negatifnya.
Namun, tahukah Anda bagaimana tradisi mudik dan lebaran ini bermula? Mari kita telusuri asal-usulnya.
Asal-Usul dan Arti Kata “Mudik”
Kata mudik kemungkinan berasal dari bahasa Melayu dan beberapa bahasa daerah seperti Betawi dan Sunda, di mana udik berarti kampung atau desa. Secara fonologis, perubahan menjadi mudik merujuk pada tindakan “pergi ke udik” atau “pulang kampung”.
Teori lain menyebutkan bahwa mudik berasal dari bahasa Melayu udik, yang berarti hulu atau ujung. Dahulu, masyarakat yang tinggal di hulu sungai sering melakukan perjalanan ke hilir untuk menemui sanak saudara. Ada juga pendapat bahwa mudik merupakan akronim dari bahasa Jawa mulih dhisik, yang berarti “pulang dahulu” (Koentjaraningrat, 1985).
Asal-Usul dan Arti Kata “Lebaran”
Kata lebaran memiliki beberapa teori asal-usul. Salah satunya berasal dari bahasa Jawa lebar, yang berarti “selesai”, merujuk pada selesainya ibadah puasa.
Ada juga pendapat bahwa lebaran berasal dari bahasa Sunda lebar, yang berarti “melimpah”, menggambarkan kelimpahan makanan dan kebahagiaan saat perayaan (Echols & Shadily, 1990). Sementara dalam budaya Betawi, lebar berarti “luas”, melambangkan kelapangan hati setelah berpuasa.
Sejarah Mudik dan Tradisi Lebaran di Indonesia
Tradisi mudik diyakini telah ada sejak era kerajaan-kerajaan Nusantara. Sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, masyarakat yang merantau kembali ke daerah asal mereka untuk mempererat hubungan keluarga dan sosial (Ricklefs, 2008).
Di era kolonial, mudik semakin mengakar ketika banyak penduduk desa merantau ke kota-kota besar untuk bekerja. Lebaran menjadi waktu yang dinanti untuk kembali ke kampung halaman dan bertemu keluarga.
Tradisi halal bihalal sendiri diperkenalkan oleh Presiden Soekarno pada 1948 untuk mempererat persatuan nasional pasca-Revolusi Kemerdekaan. Sementara itu, kebiasaan meminta maaf saat Idul Fitri diyakini pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Bonang pada abad ke-15 sebagai bagian dari ajaran Islam di Nusantara (Mahfud MD, 2021).
Mudik Lebaran: Resonansi Islam dalam Tradisi Nusantara
Mudik lebaran menjadi cerminan bagaimana Islam beresonansi dengan pandangan dunia masyarakat Indonesia, yang terefleksi dalam tradisi keislaman di Nusantara.
Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menggambarkan bahwa Islam di Indonesia lebih menekankan kebersamaan sosial dibandingkan aspek teologi yang kaku. Robert W. Hefner dalam Islamic Civility: The Social Sources of Muslim Democracy (2021) juga menyoroti kehidupan beragama di Indonesia yang lebih berbasis praktik sosial daripada teologi murni. Dalam konteks ini, mudik adalah refleksi dari nilai-nilai Islam yang melebur dalam tradisi dan budaya setempat.
Lebih dari sekadar perjalanan fisik, mudik adalah perjalanan emosional yang menghubungkan seseorang dengan akar budayanya. Di tengah perubahan zaman, semangat pulang dan berkumpul tetap menjadi bagian dari identitas masyarakat Indonesia.
Selamat mudik lebaran, semoga selamat sampai tujuan!