
Sebagai pelopor seni abstrak modern Indonesia, nama Ahmad Sadali memang sudah tak asing lagi bagi dunia seni rupa di negeri ini.
Melalui guratan pada kanvasnya, Ahmad Sadali melantunkan zikir dan fikir. Tidak hanya pada karya-karya yang melafazkan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an secara tersurat, tetapi juga pada ekspresi abstrak geometris yang cukup mendominasi banyak karyanya.
Sebagai pengakuan atas ketokohan dan kepeloporan Ahmad Sadali ini pula, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) memberikan Lifetime Achievement Award bagi Ahmad Sadali pada Kamis, 17 April 2025.
“SSAS ingin memberikan penghormatan kepada tokoh yang menunjukkan dedikasi tinggi terhadap karya dan pemikirannya,” tutur Heru Hikayat, mewakili penyelenggara.
Dr. Agung Hujatnikajennong, salah satu dari lima panelis penghargaan ini, menambahkan, “Ahmad Sadali dipandang berhak menerima penghargaan. Ia merupakan seorang perintis dan perupa relijius yang konsisten menyuarakan nilai-nilai spiritual dalam karyanya.”
Menurut kurator dan pengajar pada Program Studi (Prodi) Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, gagasan keagamaan Ahmad Sadali disampaikan secara figuratif melalui pendekatan seni rupa.
“Ia berani menggabungkan nilai-nilai abstraksi dengan nilai-nilai tauhid, sehingga memperkaya wawasan dan pemikiran seni generasi setelahnya,” Agung menegaskan.
Bambang Q. Anees, Guru Besar Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, yang juga menjadi panelis, bahkan menilai bahwa penghargaan ini cukup terlambat diberikan.
“Dalam diskusi buku Sadali, disampaikan bahwa penghargaan ini sebenarnya sudah terlambat diberikan,” tuturnya dalam konfrensi pers yang diselenggarakan di Bale Tonggoh SSAS, Jl. Bukit Pakar Timur No. 100, Bandung, Jawa Barat tersebut.
Terlahir dari Keluarga Santri
Ahmad Sadali lahir pada 24 Juli 1924 di Garut, Jawa Barat, dari keluarga yang religius dan aktif dalam gerakan keislaman. Ayahnya, Haji Muhammad Djamhari, dikenal sebagai seorang pengusaha sekaligus tokoh Muhammadiyah.
Tidak heran, jika di samping bersekolah di HIS, dan kemudian MULO di kota kelahirannya itu, Sadali juga melanjutkan pendidikannya di Madrasah Muhammadiyah. Selepas lulus SMTA di Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1944-1945).
Kecintaan kepada seni rupa mendorongnya untuk kembali melanjutkan studi, kali ini di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar (cikal bakal FSRD ITB), kemudian mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat dan Belanda.
Rangkaian perjalanan hidup dan intelektualnya memang merupakan paduan spiritualitas dan modernitas, yang tercermin dalam karya-karya dan pemikirannya di kemudian hari, ketika zikir dan fikir diabstraksi melalui ruang rupa.
Perjalanan Seni Rupa Ahmad Sadali
Ahmad Sadali adalah sosok yang menjadikan seni rupa sebagai jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara budaya modern dan akar tradisi. Sejak 1950-an, Sadali telah aktif sebagai dosen di ITB dan menjadi bagian dari kelompok perintis yang membentuk arah seni rupa modern Indonesia. Dalam perjalanan kariernya, ia memadukan teknik abstrak Barat dengan nilai-nilai spiritualitas Timur.
Perupa yang dijuluki Tempo “Pelukis Subuh” ini kerap memulai aktivitas melukisnya selepas salat subuh.
“Saya terbiasa melukis setiap selesai sembahyang subuh hingga pukul sembilan pagi,” ungkap Ahmad Sadali kepada Majalah Tempo (1983), sebagaimana dikutip MS As-Syadzili (2024).
Sadali menuturkan, “Lukisan-lukisan yang dihasilkan itu umumnya diilhami dari pengajian yang dilakukan beberapa saat setelah sembahyang subuh.”
Aminuddin TH Siregar, yang juga menjadi panelis penghargaan ini, mengungkapkan bahwa, “Kontribusi Ahmad Sadali pada masa ’54 memicu munculnya diskusi tentang hal-hal yang sebelumnya belum banyak dibahas dalam konteks seni rupa Indonesia.”
Sementara itu, Bambang Sugiharto, mengungkapkan bahwa “Ahmad Sadali merefleksikan secara filosofis posisi, identitas, dan kepribadian seorang seniman dalam konteks global.”
Keberanian dan kejujuran Ahmad Sadali dalam menegaskan posisi dan identitasnya ini pula yang telah menempatkan dirinya tidak hanya di panggung seni rupa Indonesia, tetapi juga dunia.
Mulai dari Arte Contemporance Indonesia di Rio de Jeinero, Brasil pada 1964, hingga Pameran Maestro Seni Rupa Indonesia di Galeri Nasional Indonesia pada 2014. Dari Penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional di tahun 1952, hingga Penghargaan Seni dari Pemerintah Australia “Leadership in Islam” di tahun 1977.
Rupa Zikir dan Fikir pada Guratan Kanvas Ahmad Sadali
Menurut Sunaryo, perupa dan juga panelis lainnya penghargaan ini, “Ahmad Sadali sebagai seorang seniman Muslim sangat menekankan pada nilai keesaan (tauhid) dalam karya dan pemikirannya”
Dalam karya-karyanya, Ahmad Sadali mengolah bentuk-bentuk abstrak geometris yang menyiratkan makna spiritual.
Lebih jauh, Bambang Sugiharto menambahkan, “Ia menarik persoalan tersebut ke dalam dimensi mikrokosmos dan makrokosmos, memberikan kedalaman makna yang spiritual sekaligus intelektual.”
Bagi Sadali, seperti yang dikutip Bambang Q. Anees, “Orang harus menyelaraskan rasio dengan rasa. Keduanya bisa menjadi akses lahiriah. Rasa adalah turunan dari zikir, sedangkan rasio adalah ilmu pengetahuan.”
Dalam banyak karyanya, bentuk segitiga menjadi simbol yang sering digunakan. Bentuk ini merujuk pada gunungan dalam tradisi wayang, yang menurut Bambang Q. Anees merupakan lambang keterhubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Pemikiran dan karya Sadali menjadi bukti bahwa zikir dan fikir dapat hidup berdampingan di atas kanvas. Karya-karyanya bukan sekadar seni rupa, tetapi juga jalan menuju makna yang lebih dalam—jalan spiritual yang tak henti disusuri.