Penulis: Djaelani, M.Sn.
Artikel ini merupakan bagian keempat dari Seri Kritik Musik. Artikel pertama, Ketika Musik Dinilai: Antara Selera dan Analisis dapat dibaca pada tautan ini.
Musik bukanlah semata hiburan, melainkan merupakan wacana budaya. Untuk itu, diperlukan cara pandang yang lebih dalam daripada hanya meninjau atau menilai dari sudut estetika saja. Struktur sosial menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, dan dalam hal ini juga menyinggung sistem kepercayaan bahkan politik. Karena itulah, musikologi budaya menawarkan sudut pandang komprehensif dalam menelaah musik sebagai praktik kebudayaan yang kompleks.
Etnomusikolog Bruno Nettl mengatakan: “To understand a music, one must understand the society in which it is created and used. Music is not only a cultural product; it is a cultural process.”
(Untuk memahami musik, seseorang harus memahami masyarakat tempat musik itu diciptakan dan digunakan. Musik bukan hanya produk budaya, tetapi juga proses budaya.)
Pernyataan itu menegaskan bahwa musik tidak cukup hanya dinilai melalui harmoni, melodi, ritme, atau aransemen. Sebaliknya, kita perlu menggali konteks sosial di balik bunyi yang terdengar.
Cara pandang musikologi akan menempatkan kritik bukan sekadar sebagai aktivitas menilai, melainkan sebagai upaya pemahaman. Musik dimainkan di mana, oleh siapa, dan untuk apa—semua itu menjadi kunci dalam analisis. Dengan pendekatan tersebut, musik dapat dibaca sebagai narasi sosial dan penanda identitas. Bahkan hal-hal yang terselubung di balik struktur nada dapat terungkap. Musikologi menjadi pintu masuk untuk memperluas pemahaman terhadap musik, karena musik bukan semata karya seni yang berdiri sendiri, melainkan merupakan proses sosial, historis, dan kultural.
Musik dapat dibaca sebagai teks sosial yang sangat kaya—menjadi arena identitas dan sejarah. Dengan musikologi, lapisan-lapisan musik dapat dikupas secara rinci. Musik adalah produk budaya yang hidup. Perspektif ini menjadi kekayaan dalam melakukan kritik dengan pendekatan musikologi.
Melalui kacamata musikologi, kritik musik tidak hanya berbicara soal baik-buruk atau jelek-indah, melainkan juga bagaimana musik tersebut bekerja di masyarakat dan membuka ruang dialog antarbudaya. Musik merupakan teks hidup, dan kritik adalah bagian dari upaya memahami seluruh kompleksitas sosialnya.
Bagaimana Pendekatan Musikologis Memperkaya Kritik?
Seperti telah disampaikan dalam tulisan terdahulu, musikologi menjadi pisau analisis dalam membedah karya musik agar kritik menjadi lebih komprehensif dan tidak subjektif. Pendekatan ini menjadikan kritik sebagai alat refleksi intelektual dan kultural. Ia mengajak kita melihat musik bukan hanya sebagai suara yang menyenangkan, tetapi sebagai bagian dari sejarah, identitas, dan dinamika masyarakat.
Salah satu cara agar tulisan musik tidak hanya diasosiasikan dengan komentar ringan—bagus atau tidaknya sebuah lagu, konser, atau album—adalah dengan menghadirkan komentar yang padat dan reflektif. Kritik musik menyimpan potensi besar sebagai catatan refleksi budaya, yang mendalam dalam memaparkan analisis artistik serta pemahaman terhadap karya musik. Melalui pendekatan ini, kritik musik bertransformasi dari sekadar komentar menjadi wacana yang membuka cakrawala, memperluas apresiasi, dan membangun dialog bermakna antara musik, pendengarnya, dan dunia sekitarnya.
Di era digital, saat musik mengalir begitu cepat, pendekatan musikologis menawarkan pelambatan yang bermakna. Ia mengajak kita untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga membaca dan memahami musik sebagai bagian dari kehidupan manusia yang kompleks. Lewat pendekatan ini, kritik musik menjadi lebih dari sekadar opini—ia menjadi jalan menuju pemahaman yang lebih luas, dalam, dan kaya.
Contoh Kongkret: Cidro karya Didi Kempot
Secara umum, lagu Cidro sangat menyentuh, cocok untuk orang yang patah hati, dan enak didengar. Namun, melalui pendekatan musikologis, kita dapat mengulas penggunaan tangga nada pentatonik Jawa (laras pelog), yang ditata dengan sangat lugas sehingga memberikan warna khas.
Struktur harmoninya mengusung progresi akor yang sederhana namun efektif. Ritmenya yang tidak terlalu cepat dan repetitif membuat lagu ini mudah diingat dan bersifat naratif.
Dalam konteks sosial budaya, Cidro dapat dianalisis melalui unsur campursari—perpaduan antara gamelan Jawa, irama keroncong, dan instrumen musik Barat seperti keyboard dan gitar. Semangat glokalisasi budaya dalam industri musik populer ini menunjukkan bentuk perlawanan halus terhadap hegemoni musik pop, dengan tetap mempertahankan bahasa serta kekuatan estetika lokal.
Istilah “Sobat Ambyar” mengukuhkan adanya komunitas budaya yang menegaskan bentuk solidaritas sosial dan menyuarakan luka hati. Didi Kempot bukan hanya penyanyi patah hati, melainkan agen kebudayaan yang menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal seperti kesetiaan, pasrah, dan welas asih melalui medium musik. Bagi masyarakat urban kelas pekerja Jawa, lagu ini menjadi semacam katarsis kolektif, tempat penderitaan personal menjelma sebagai identitas sosial bersama.
Simpulan
Meminjam mata musikologi memperluas wawasan kritik musik dengan menyediakan kerangka analisis yang objektif, kontekstual, dan mendalam. Dengan memahami struktur, harmoni, ritme, dan konteks budaya, seorang kritikus tidak hanya menilai musik, tetapi juga mengartikulasikan mengapa dan bagaimana sebuah karya bermakna.
Ini bukan soal menggantikan selera pribadi, tetapi memperkaya sudut pandang dalam menikmati dan menilai musik—terutama di era digital, di mana banjir karya menuntut kita untuk lebih kritis dan berwawasan.
Penulis: Djaelani, Direktur Jendela Ide Indonesia dan Pengajar Seni Musik Universitas Pasundan
Editor: Iman Haris M
Bagian Ke-tiga: Ketika Kritik Menjadi Dangkal