Penulis: Djaelani, M.Sn.
Artikel ini merupakan bagian ke-enam dari Seri Kritik Musik. Artikel pertama, Ketika Musik Dinilai: Antara Selera dan Analisis, dapat dibaca pada tautan ini.
Kritik Musik dan Posisi Intelektual
Kritik musik adalah praktik intelektual. Pemahaman mendalam terhadap musik sebagai produk budaya, seni, dan praktik sosial sangat dibutuhkan. Maka dari itu, kritik musik bukan sekadar opini berbasis suka atau tidak suka. Terlebih di era digital saat ini, kehadiran kritik musik yang bernas sangat penting untuk membantu publik memahami, memilah, serta mengapresiasi musik secara utuh dan menyeluruh.
Philip Tagg, seorang musikolog asal Inggris, mengatakan bahwa kritik musik seharusnya tidak hanya membahas bagaimana bunyinya, tetapi juga mengapa ia berbunyi seperti itu dan untuk siapa. Kritik musik yang baik mempertemukan dimensi estetika dan sosial. Ia tidak berhenti pada teknis komposisi, tetapi juga menyelidiki konteks produksi, distribusi, dan penerimaan karya tersebut. Pernyataan ini menegaskan bahwa posisi kritik sangat penting sebagai arena penggalian ilmu pengetahuan tentang musik secara komprehensif.
Meskipun kritik musik mengandung subjektivitas karena pengalaman mendengar tiap orang berbeda, kritik yang bernas tetap memerlukan argumentasi yang logis dan pengetahuan yang memadai. “Keindahan dalam musik tidak dapat dipisahkan dari konstruksi budaya yang melingkupinya.” Oleh karena itu, kritik musik yang baik juga harus mampu menjelaskan selera sebagai produk dari konstruksi sosial, bukan sekadar urusan pribadi. Demikian dikemukakan oleh Carl Dahlhaus, musikolog asal Jerman, dalam bukunya Foundation of Music History (1983).
Seorang kritikus musik tidak harus menjadi musisi. Namun, untuk membangun kerangka teoritis, penting memahami teori, sejarah, dan gaya perkembangan musik. Teori semiotika, sosiologi musik, hingga studi budaya menjadi perangkat penting sebagai pisau analisis. Tidak cukup membahas hip hop hanya dari beat dan alur lagu—perlu juga memeriksa identitas di balik lirik, estetikanya, dan aspek lain dalam kerangka kajian yang bernas.
Simon Frith, sosiomusikolog, dalam bukunya Performing Rites: On the Value of Popular Music (1996) menyatakan bahwa “menilai musik populer berarti menilai cara kita hidup.” Ini menunjukkan bahwa kritik musik yang bernas harus mampu mengaitkan musik dengan kehidupan sosial, nilai-nilai, dan relasi kuasa di sekitarnya.
Tantangan di Era Digital
Di era digital, penulisan kritik musik menghadapi dilema baru. Siapa pun bisa menulis kritik di blog, media sosial, dan platform digital lain. Namun, banjir opini bisa menenggelamkan kritik yang argumentatif dan mendalam. Ini menjadi tantangan sekaligus keharusan: membangun kritik yang bernas. Kecermatan memilih diksi, integritas intelektual, serta ketajaman membaca konteks sangat dibutuhkan.
Kritik musik yang bernas adalah catatan yang menggabungkan kepekaan artistik dan kedalaman analisis. Pembacaan lintas disiplin penting—bukan hanya berdasarkan pengalaman mendengar. Kritik yang berbobot akan menuntun pembaca untuk lebih sadar mendengarkan dan memandang musik sebagai produk budaya, bukan sekadar hiburan.
Tips Menulis Kritik Musik Berbasis Pendekatan Musikologis
Tujuan kritik musik adalah menilai, memahami, dan mengomunikasikan makna di balik karya. Sayangnya, banyak kritik terjebak dalam preferensi subjektif tanpa kerangka teori yang kuat. Di sinilah pendekatan musikologis menjadi penting.
Carl Dahlhaus menyatakan bahwa musikologi memperluas cakrawala pengetahuan musik melampaui pendengaran menuju pemahaman historis dan struktural. Kritik berbasis musikologi memungkinkan penulis menilai secara komprehensif, termasuk asal-usul, perkembangan, dan fungsi sosial musik.
1. Pahami Konteks Historis dan Kultural
Kritik yang bernas menyelidiki latar sejarah dan budaya pembuatannya. Misalnya, saat mengkritik gamelan kontemporer, pahami akar tradisinya serta bagaimana elemen musik tradisi itu diolah menjadi wacana kebaruan.
2. Gunakan Terminologi Musik yang Akurat
Gunakan istilah seperti modulasi, timbre, ostinato, dan lainnya untuk memperjelas penilaian terhadap struktur dan unsur musik. Hindari istilah teknis jika tak bisa dijelaskan secara sederhana.
3. Analisis Struktur dan Komposisi
Menurut Heinrich Schenker, penting menekankan struktur dan kedalaman karya. Analisis bentuk seperti sonata atau bentuk A–B dapat mengungkap logika dan dinamika musikal suatu karya.
4. Perhatikan Intertekstualitas Musik
Musik berdialog dengan karya lain melalui kutipan, idiom, atau gaya. Kritik yang baik mampu menangkap hubungan ini—misalnya bagaimana jazz mengolah unsur klasik atau bagaimana pop menyerap elemen lokal.
5. Gunakan Referensi Teoretikus Musik
Pemikiran Adorno (kritik musik dan industri budaya), Susan McClary (feminisme), dan lain-lain akan memperkaya sudut pandang serta kedalaman tulisan.
6. Tulis dengan Struktur Sistematis
- Pendahuluan: konteks umum
- Deskripsi: genre, gaya, media
- Analisis: struktur dan konteks
- Evaluasi: penilaian kritis
- Kesimpulan: refleksi dan tafsir lanjut
Contoh Analisis Lagu K-Pop: Dynamite oleh BTS
Pendahuluan
K-Pop menjadi fenomena global sejak awal 2010-an. Kesuksesan ini mencerminkan kompleksitas antara komodifikasi musik, estetika visual, dan pembentukan identitas. Lagu Dynamite akan dianalisis sebagai studi kasus menggunakan pendekatan musikologis dan sosiokultural.
Deskripsi Lagu
Dirilis pada 2020, Dynamite adalah lagu disco-pop berbahasa Inggris pertama BTS. Lagu ini enerjik dengan tempo 114 bpm, harmoni mayor, serta dominasi instrumen bass, drum elektronik, dan synth retro.
Analisis Musikologis
Strukturnya mengikuti format pop klasik. Produksinya menampilkan teknik modern dengan lapisan vokal dan efek digital, mencerminkan “standardisasi” industri sebagaimana dikemukakan Adorno.
Dimensi Sosial Budaya
Dynamite dirilis saat pandemi dan membawa pesan positif, sebagai bentuk escapism. Menurut Keith Howard, K-Pop adalah hasil sinergi kebijakan budaya Korea dan strategi global. BTS di sini menjadi agen budaya yang membangun narasi global sambil tunduk pada logika industri.
Kritik dan Refleksi
Meski sukses besar, Dynamite dikritik karena terlalu “Barat”. Apakah keberhasilan global menuntut penghapusan identitas lokal? Di sisi lain, penggunaan bahasa Inggris menunjukkan strategi transnasionalisme.
Etika Kritik: Membangun, Bukan Menghakimi
Kritik sering disalahpahami sebagai penilaian negatif. Padahal, kritik seharusnya menjadi ruang dialog antarpandangan, bukan dominasi rasa superior.
Kritik sebagai Dialog
Kritik yang bernas:
- Memuat analisis kontekstual (sosial, politik, budaya)
- Berbasis kepekaan estetika
- Mengusung empati kultural
Sebagaimana Terry Eagleton ungkapkan, kritik adalah “praktik sosial yang menyadari kondisi material dan ideologis produksinya.”
Simpulan
Kritik musik tidak seharusnya menjadi penghakiman, tetapi jalan pemahaman lebih dalam terhadap karya. Ia menjadi dialog terbuka yang menghormati kompleksitas kreativitas. Maka, penting mengembangkan kritik yang berbasis pengetahuan, kepekaan, dan empati agar menjadi medium diskusi yang sehat, bukan alat dominasi.
Penulis: Djaelani
Direktur Jendela Ide Indonesia dan Pengajar Seni Musik Universitas Pasundan
Editor: Iman Haris M