Penulis: Djaelani, M.Sn.
Artikel ini merupakan bagian ke-tujuh dari Seri Kritik Musik. Artikel pertama, Ketika Musik Dinilai: Antara Selera dan Analisis dapat dibaca pada tautan ini.
Sejak bertahun-tahun lamanya, tulisan kritik mendominasi media cetak atau media mainstream. Tulisan kritik menjadi semacam jembatan antara musisi/komposer dengan pendengar. Kritik dan esai musik sangat berpengaruh dalam membentuk selera pendengar, sehingga peran penulis kritik menjadi begitu penting. Kedudukan penulis sangat dibutuhkan dan menjadi salah satu ujung tombak bagi rilisan album maupun pertunjukan/konser, karena baik-buruknya sebuah karya atau tampilan akan diulas oleh kritikus atau penulis musik.
Dari resensi konser klasik di koran abad ke-19 hingga kolom-kolom populer dalam majalah Rolling Stone di abad ke-20, kritik musik membantu membentuk opini publik, mendidik selera, dan memengaruhi arah industri musik. Namun, memasuki era digital, lanskap kritik musik mengalami perubahan radikal. Demokratisasi media, dominasi algoritma, dan hadirnya platform seperti YouTube, Spotify, dan TikTok telah mengaburkan batas antara kritikus, penggemar, dan pembuat konten. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah: bagaimana masa depan kritik musik di era digital?
Dari Otoritas ke Komunitas
Sebelum era digital, kritik musik adalah domain para profesional yang bekerja untuk media besar dan memiliki kekuasaan dalam membentuk reputasi seorang artis. Kritik yang ditulis oleh tokoh seperti Lester Bangs atau Robert Christgau tidak hanya menjadi referensi, tetapi juga sering dianggap sebagai standar kualitas artistik.
Di Indonesia, kita mengenal penulis-penulis kritik musik seperti Remy Silado, Bens Leo, serta musikolog Sukaharjana yang kerap memberikan ulasan di media cetak. Majalah Aktuil, sebagai pelopor media yang mengulas musik, dan juga majalah Hai, rutin memuat resensi dan artikel musik.
Namun kini, siapa pun dapat menulis ulasan, membuat video reaksi, atau membuat thread panjang di Twitter tentang album baru. Fenomena ini disebut oleh kritikus musik Elijah Wald sebagai “desentralisasi kritik” (Wald, How the Beatles Destroyed Rock ‘n’ Roll, 2009). Wald menyebutkan bahwa otoritas kritik berpindah dari atas ke bawah; sekarang kekuasaan tersebar di antara jutaan orang yang memiliki akses ke internet.
YouTube, misalnya, telah melahirkan kritikus musik non-tradisional seperti Anthony Fantano (The Needle Drop) yang mampu memengaruhi opini publik lebih luas dibanding banyak media cetak konvensional. Platform seperti RateYourMusic, Reddit, dan Last.fm memberi ruang bagi komunitas musik untuk saling bertukar pendapat, memperluas pandangan, dan memperkuat niche.
Algoritma dan Relevansi Kritik
Salah satu tantangan utama kritik musik di era digital adalah peran algoritma. Layanan seperti Spotify dan YouTube kini lebih banyak menentukan apa yang didengar oleh pengguna dibandingkan ulasan kritikus. Musik dipilih berdasarkan preferensi yang direkam, bukan berdasarkan kualitas yang disaring oleh pakar.
Melalui platform media sosial, musik kini dapat diunggah semudah menanak nasi. Hal ini karena musik telah menjadi home industry. Produksi musik tak lagi memerlukan perangkat besar; cukup dengan laptop, instrumen yang diperlukan, dan perangkat lunak khusus.
Antropolog Nick Seaver, dalam tulisannya berjudul Captivating Algorithms, menyatakan: “Algoritma bukanlah entitas netral; ia dikonstruksi oleh nilai-nilai tertentu, dan dalam hal musik, ia membentuk apa yang kita anggap layak didengar.” Artinya, algoritma tidak hanya mencerminkan selera, tetapi juga memproduksinya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan etis: siapa yang sebenarnya menentukan selera kita? Diri kita sendiri atau sistem otomatis yang dibangun oleh perusahaan teknologi?
Pertanyaan besar saat ini adalah: apakah kritik musik masih relevan jika pendengar tak lagi mencari panduan estetik dari manusia, melainkan dari mesin? Kritikus musik Amerika, Ann Powers dari National Public Radio, menjawab dengan lugas: “Kritikus bukan lagi penjaga gerbang, tapi tetap penting sebagai pemandu budaya” (Powers, Good Booty, 2017). Kritik musik kini bergeser dari penghakiman nilai menjadi penafsiran budaya, memperkaya pemahaman sosial dan politik dari musik yang beredar.
Estetika, Identitas, dan Aktivisme
Di era digital, kritik musik juga bergulat dengan dimensi identitas dan representasi. Isu seperti gender, ras, kelas, dan politik menjadi bagian dari diskursus kritik. Misalnya, karya Beyoncé, Kendrick Lamar, atau BTS tidak hanya dibahas dari sisi musikalitas, tetapi juga makna sosial yang dibawanya.
Kritik musik kini berfungsi sebagai bentuk aktivisme budaya. Dalam esainya di media musik daring Pitchfork, kritikus musik Jenn Pelly menulis: “Kritik musik adalah tempat di mana kita bertanya: musik ini membebaskan siapa, mewakili siapa, dan menghilangkan siapa?” (Pitchfork, 2020). Ini menunjukkan bahwa masa depan kritik musik lebih interseksional dan politis—menyadari bahwa musik bukan sekadar hiburan, melainkan cerminan zaman.
Simpulan
Masa depan kritik musik di era digital bukanlah cerita tentang kepunahan, melainkan evolusi. Kritik musik tidak lagi berada di menara gading, tetapi justru menyatu dalam arus percakapan global yang lebih luas dan lebih inklusif.
Tugas kritikus bukan lagi sekadar memberi nilai, tetapi juga menciptakan ruang dialog, memberi konteks, dan menggali makna.
Seiring teknologi terus berubah, kritik musik pun akan terus bertransformasi. Namun satu hal yang tetap: kebutuhan manusia untuk memahami, menafsirkan, dan merasakan musik secara lebih dalam. Dan di situlah kritik musik akan selalu memiliki tempat.
Penulis: Djaelani, Direktur Jendela Ide Indonesia dan Pengajar Seni Musik Universitas Pasundan
Editor: Iman Haris M