Mapagsri: Tradisi Syukur dan Pelestarian Budaya Slangit, Cirebon

Pengantin Padi, perlambang Dewi Sri dalam Tradisi Mapagsri di Desa Slangit, Cirebon. (Foto: Fifie Silmi Zakiyah)

Penulis: Fifie Silmi Zakiyah

Desa Slangit, Cirebon, kembali menggelar tradisi Mapagsri pada 19 April 2024. Acara ini merupakan wujud syukur atas hasil panen, terutama padi.

Pengantin Padi, simbol Dewi Sri, diarak keliling desa disertai atraksi egrang dan Badawang mitologis. Tradisi ini mencerminkan keragaman budaya lokal.

Rangkaian acara dimulai dengan ziarah ke makam Buyut Slangit. Prosesi berlanjut dengan arak-arakan melawan jarum jam, simbol kesucian, dan berakhir di makam Buyut.

Pertunjukan wayang kulit dan tari topeng turut memeriahkan acara. Tradisi ini dilaksanakan sekitar 100 hari setelah panen pertama.

Menurut Bapak Asidi, tokoh adat, pendanaan tahun ini dari pemerintah, tetapi sebelumnya bersumber dari swadaya masyarakat. Semangat gotong royong tetap terjaga.

Pengantin Padi menjadi elemen utama Mapagsri. Pembuatan simbol ini melibatkan anak muda untuk menjaga keberlanjutan tradisi dari generasi ke generasi.

Meskipun tanpa dukungan dana, warga tetap melaksanakan Mapagsri. Bagi mereka, ini adalah bentuk syukur kepada Tuhan atas berkah hasil panen.

Selain Pengantin Padi, simbol lain seperti bambu runcing dan pandan beringin memiliki makna mendalam. Sebagian padi dibagikan untuk bibit musim depan.

Aneka Badawang ikut meramaikan tradisi Mapagsri, simbol keragaman budaya Cirebon. (Foto: Fifie Silmi Zakiyah)
Aneka Badawang ikut meramaikan tradisi Mapagsri, simbol keragaman budaya Cirebon. (Foto: Fifie Silmi Zakiyah)

Lebih dari 25 Badawang atau boneka raksasa ikut memeriahkan prosesi. Atraksi egrang dan alat musik tradisional menambah daya tarik tradisi Mapagsri bagi masyarakat dan tamu.

Puncak acara adalah pertunjukan wayang “Bumiloka” yang menjadi hiburan utama. Sedekah Bumi juga diadakan, dengan makanan didoakan dan dibagikan.

Air suci dari makam Buyut dipercaya membawa berkah bagi yang membasuh muka atau kepala dengannya. Tradisi ini memperkuat hubungan masyarakat dengan leluhur.

Bapak Yongpin, penerus sanggar tari topeng tertua di Slangit, menyebut tradisi ini wujud penghormatan kepada para Buyut yang telah melestarikan kebudayaan. “Apa yang kami nikmati sekarang adalah hasil jerih payah mereka,” ujar Bapak Yongpin.

Mapagsri bukan sekadar adat, lebih dari itu, tradisi ini merupakan ekspresi syukur yang kaya simbol dan makna.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *