Penulis: Manuella Princessa
Editor: Iman Haris M
Mantra-Mantra di Balik Layar Kaca
Film, sebagai jendela dunia, memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk pikiran dan perilaku kita. Melalui cerita yang menarik dan visual yang memukau, film mampu membawa kita ke berbagai tempat, bahkan menginspirasi menjadi versi terbaik dari diri kita.
Namun demikian, di balik keseruannya, film juga membawa pesan-pesan tersembunyi yang dapat memengaruhi cara kita memandang dunia.
“Perspektif manusia atas ruang dan waktu berkaitan dengan daya otak manusia untuk mengingat,” ungkap Ernst Cassirer, filusuf kebudayaan terkemuka abad ke-20.
Masih menurut Cassierer, “Manusia mengingat masa lalu, yang barangkali penuh dengan penyesalan, kesalahan, dan ketidakpuasan. Karena itu masa depan sebagai sesuatu yang belum terjadi dilihat sebagai sesuatu yang ideal.”
Terkait perspektif Cassierer ini, film sebagai salah satu media, kerap menjalankan misinya untuk menyampaikan pesan tertentu. Melalui film, ada cita-cita yang berusaha dicapai manusia.
Film Ngeri-Ngeri Sedap (2022), misalnya saja, memiliki bagian akhir yang dapat dikatakan tidak lazim. Karakter ayah Batak yang keras dalam film ini mengalami character development menjadi sosok yang lebih baik.
Menurut Cassirer, hal tersebut merupakan tugas manusia dalam berbudaya. Manusia mengupayakan adanya masa depan yang ideal, melalui bentuk simbol sebagai kemampuan khasnya (Cassierer, 1990).
Contoh lainnya film animasi Meet the Robinsons (2007). Film tersebut tampaknya jor-joran mempromosikan American Dreams.
Disney tampaknya berupaya keras membuat penontonnya meyakini benar bahwa apapun yang kita cita-citakan dapat tercapai asal bekerja keras, meski kita tahu bahwa hal ini rasanya tak selalu benar.
Dari kedua film tersebut kita dapat melihat bagaimana kekuatan film sebagai sebuah media. Contoh lainnya, film Agak Laen (2024) yang menempati posisi tertinggi box office Indonesia hari ini, memiliki jumlah penonton di atas 9 juta. Karenanya, film dan kekuatannya memang tidak bisa kita remehkan.
Kekuatan Semiotika Film dalam Mempengaruhi Pikiran
Setelah menonton film yang inspiratif, kita ingin menjadi lebih baik. Setelah menonton film tentang perjalanan atlet menjadi seorang juara, kita ingin menjadi atlet dan mulai berolahraga.
Setelah menonton film tentang dokter, tidak jarang orang ingin menjadi dokter. Setelah menonton film tentang koki, ingin menjadi koki atau memasak. Gejala ini menunjukan kekuatan semiotis film.
Film bekerja seperti seorang pesulap yang mahir mengendalikan pikiran kita. Setiap gambar, dialog, dan musik adalah mantra yang dapat membuai kita masuk ke dalam dunia yang diciptakannya.
Misalnya, dalam film horor, penggunaan warna gelap, musik mencekam, dan pencahayaan yang redup menciptakan suasana yang membuat bulu kuduk kita berdiri.
Teknik ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memanipulasi emosi kita dengan cara yang sangat efektif. Melalui simbol-simbol yang dipilih dengan cermat, film dapat membangkitkan rasa takut, bahagia, sedih, atau bahkan marah pada diri penonton.
Sebagai sebuah kebudayaan yang menayangkan gambar-gambar bergerak, film dapat diinterpretasi dengan cara yang beragam.
Film pastinya memiliki makna konotatif dan denotatif, serta memiliki tanda dan penandanya. Dalam sistem itu film bekerja sebagai simbol yang dapat ditelaah maknanya melalui semiotika.
Hal tersebut sejalan dengan cara kerja interpretatif konotatif yang disebutkan oleh Roland Barthes. Bahwa sesuatu dapat dilihat melalui perspektif readerly ataupun writerly (Sutrisno & Putranto, 2005). Untuk menjaga nyawa dari sebuah karya, peran writerly tentu lebih besar.
Dari dua film yang disinggung di awal misalnya, dengan memperhatikan dialek yang digunakan para tokoh dan latar belakang filmnya kita bisa mengetahui latar belakang kulturalnya. Ketika menonton film, kita melihat film sebagai penanda dan memaknai film dengan latar belakang pengetahuan kita.
Perbedaan latar belakang pengetahuan menjadi alasan adanya beragam interpretasi atas satu film yang sama. Dan perbedaan interpretasi itu membuat sebuah karya menjadi hidup. Maka, dikotomi antara penonton dan pembuat karya menjadi hilang.
Seperti diungkap Barthes dalam, “the Dead of the Author”, film atau karya seni lainnya dapat menjadi sangat personal (Sugiharto, 2013). Kita mengambil bagian yang dekat dengan kita, dan membuat rasionalisasi atas hal tersebut.
Sisi Gelap Perselingkuhan Budaya Film dan Kapital
Menurut Purwadi, dalam Uang, Seni, dan Tawa: Perspektif Filsafati (2020), hari ini seni memang bukanlah kebutuhan primer, dan tidak perlu terlalu diambil pusing. Kecuali bagi seniman atau pegiat seni itu sendiri.
Namun demikian, kebutuhan atas hiburan dan pemenuhan tujuan untuk melestarikan kebudayaan dalam berbagai bentuk tetap ada, karenanya berbagai film tetap diproduksi.
Masalahnya, kebudayaan seperti film berbeda dengan umumnya kebudayaan yang bersifat tradisi. Film tidak dapat dilepaskan dengan kapitalisme, industri membutuhkan kapital untuk berjalan.
Bioskop-bioskop yang memutar film masih membutuhkan uang untuk beroperasi, sama halnya dengan OTT platform yang menayangkan berbagai film.
Di tengah tuntutan memenuhi selera pasar demi menutup biaya produksi dan meraup keuntungan, film sebagai sebuah soft power yang dapat mempengaruhi manusia juga memiliki sisi gelapnya.
Banyak pembuat film yang hanya bekerja untuk memenuhi kepentingan kapitalisme semata. Dampaknya, eksploitasi dalam industri film terjadi kepada para pekerja seperti yang terjadi dengan film animasi Spider-Man: Across The Spider Verse (2023).
Realitas ini juga berdampak pada tema-tema yang diangkat. Seperti film-film horor indonesia yang bertemakan agama atau budaya: Makmum (2019), Primbon (2023), dan sebagainya, yang dapat menggiring kesalahpahaman di tengah masyarakat.
Dampak tersebut juga dirasakan oleh penonton. Melihat bagaimana film live-action remake buatan Disney yang tetap ramai meskipun alur ceritanya sama seperti yang ada di film animasinya: The Lion King (1994 & 2019), The Little Mermaid (1989 & 2023), Mulan (1998 & 2020) dan banyak lagi lainnya.
Film memang telah menjadi bahasa universal dalam menyampaikan banyak hal. Demikian juga budaya menonton telah menjadi bagian dari keseharian hidup manusia di berbagai belahan dunia.
Mengingat pengaruh film yang begitu besar, unsur kapitalisme dalam industri film tersebut tentu perlu menjadi perhatian bersama, agar film tidak hanya diproduksi untuk mencari untung atau bergerak pada sisi reproduktif belaka.
Dengan demikian, film dapat kembali menjadi sebuah media yang menanamkan nilai-nilai baik, menjadi bagian dari unsur pemajuan kebudayaan.

Manuella Princessa
Mahasiswa Filsafat Budaya
Fakultas Filsafat
Universitas Parahyangan Bandung
*Kader Jurnalistik Budaya
Bandung Music Council & SemestaBudaya.ID