Kritik musik sebagai jembatan pemahaman lintas budaya, identitas, dan sejarah dalam konteks sosial.

Kritik Musik sebagai Jembatan Budaya

Penulis: Djaelani, M.Sn.

Artikel ini merupakan bagian kelima dari Seri Kritik Musik. Artikel pertama, “Ketika Musik Dinilai: Antara Selera dan Analisis” dapat dibaca pada tautan ini.


Musik merupakan bagian dari seni, di mana seni adalah salah satu dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan. Dari sini kiranya dapat dilihat bahwa sebagai objek budaya, musik bisa dimanfaatkan, dikembangkan, dilindungi, dan dibina.

Dalam konteks pemanfaatan, kiranya musik bukan hanya berada pada posisi sebagai fungsi hiburan saja, namun musik bisa menjadi media pendidikan bahkan therapy. Pada konteks pengembangan, musik sebagai produk budaya kiranya dapat diarahkan menjadi media diplomasi budaya.

Pemanfaatan musik sebagai media therapy telah menjadi bagian penting pada masyarakat adat tertentu, di mana penggunaan instrumen dan vokal ditempatkan sebagai bagian dari sarana tersebut. Di ranah pendidikan, sudah sejak lama musik (baca: lagu) dimanfaatkan untuk pengembangan pendidikan karakter.

Pengembangan bidang musik tidak hanya terbatas pada penggunaan instrumen pendukung yang merujuk pada teknologi. Ada prinsip dasar yang sejak dahulu menjadi bagian dari diplomasi budaya melalui pertunjukan dan lokakarya. Setiap kali terjadi muhibah budaya—baik dari negara lain ke Indonesia maupun sebaliknya—kerap meninggalkan kesan mendalam dari peristiwa budaya tersebut.

Ketika menggunakan musik dalam konteks pemanfaatan dan pengembangan, sudah barang tentu, mau tidak mau, harus mendalami konteks dan konten musik tersebut agar tidak menjadi sekadar tempelan. Masuk dan mendalami musik tentu saja akan bermanfaat pada pemahaman gaya yang dimainkan dan bagaimana kondisi musik tersebut tercipta.

Sebagai contoh, ketika kita menulis tentang keroncong, akan sangat kaya penelaahan jika menyentuh pada aspek sejarah asal-usul, bagaimana irama yang menjadi pokok pada gaya musik keroncong terbentuk. Bagaimana instrumen keroncong masuk ke Indonesia, dan bagaimana instrumen tersebut dimainkan dengan pendekatan lokal. Penjelajahan inilah yang dapat menjadi jembatan pengetahuan kita kepada sejarah—bukan hanya tentang musik, tapi juga bagaimana bangsa Portugis masuk ke Nusantara membawa kebudayaannya melalui musik.

Pada kasus penulisan musik klasik Barat, sudah barang tentu, di samping secara musikologis membeberkan dengan rinci aspek kompositoris dari bentuk hingga susunan harmoni, akan lebih baik apabila pencatatan menyentuh pada aspek biografi komponis, latar belakang sejarah dan zamannya, serta tren musik pada masa tersebut. Penelaahan ini secara otomatis memberikan informasi kepada pembaca mengenai aspek budaya yang membentuk dan memengaruhi lahirnya karya tersebut.

Musik sebagai Representasi Identitas, Sejarah, dan Nilai Sosial

Musik tidak hanya susunan nada yang terangkai baik secara vertikal maupun horizontal, yang menjadi konsumsi telinga saja. Musik menjadi sebuah fenomena sosial yang sarat akan makna. Sebagai pembentuk kesadaran kolektif, penyampai pesan, serta sarana mengungkapkan perasaan—itulah musik dalam berbagai peradaban.

Musik juga mencerminkan identitas, merekam sejarah, dan memuat nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat yang menciptakannya.

Tiga hal yang menjadikan musik sebagai jembatan budaya yaitu:

  1. Representasi Identitas
    Individu dan kelompok sering kali menjadikan musik sebagai arena representasi. Musik menjadi penanda dari mana individu berasal dan kelompok atau kelas sosial mana yang diidentifikasi. Hal ini dapat terlihat dari genre musik yang berkembang di komunitas tertentu. Kolintang menjadi pembentuk identitas budaya bagi masyarakat Minahasa, sementara hip hop berkembang di komunitas Afrika-Amerika di Amerika Serikat.
  2. Representasi Sejarah
    Musik pada masyarakat tertentu menjadi sarana utama untuk menceritakan masa lalu, perjuangan, serta nilai-nilai luhur. Pada masyarakat modern, musik digunakan untuk mengingat serta merefleksikan peristiwa penting dalam sejarah. Lagu-lagu perjuangan seperti Halo-Halo Bandung, Padamu Negeri, dan lain-lain merupakan pengingat masa perjuangan bangsa Indonesia. Musik juga menjadi penjaga ingatan kolektif atas berbagai pengalaman yang tidak tercatat dalam sejarah resmi.
  3. Representasi Nilai Sosial
    Musik menjadi cerminan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Keadilan, solidaritas, cinta, hingga religiositas termanifestasi dalam lirik lagu, gaya musik, dan pertunjukannya. Pada genre dangdut, sering kali diangkat tema sosial seperti kemiskinan, percintaan yang rumit, hingga ketimpangan. Lagu-lagu daerah kerap berisi muatan moral, seperti menghormati orang tua dan menjaga hubungan sosial. Lagu-lagu protes atau musik underground menciptakan ruang alternatif sebagai wacana sosial yang berbeda.

Bagaimana Kritik Musik Bisa Memperkuat Pemahaman Antarbudaya

Saat ini keterhubungan antarbelahan dunia sudah menjadi kenyataan; pertukaran budaya terjadi dan tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Musik memegang peran penting dalam proses pertukaran ini.

Namun, hanya mendengarkan musik sebagai produk budaya berbeda tidaklah cukup. Kita perlu mengkritisinya. Di sinilah peran kritik musik antarbudaya menjadi penting. Kritik antarbudaya dapat membuka ruang dialog dan mengurai makna kultural.

Kritik musik yang berbasis budaya dapat membantu memperdalam pemahaman kultural dengan menggali asal-usul, nilai, dan simbolisme yang terkandung dalam musik. Kritik musik yang mendalami latar belakang kulturalnya dapat membuka pintu empati, dengan menghadirkan narasi alternatif dari masyarakat yang sebelumnya mungkin hanya dipahami melalui kacamata Barat.

Sebagai contoh, musik reggae asal Jamaika dengan tokohnya Bob Marley kerap dipahami secara permukaan sebagai musik yang santai, eksotis, identik dengan marijuana, dan sebagainya. Padahal, di balik itu, reggae memiliki akar yang dalam dalam perjuangan anti-kolonial, spiritualitas Rastafari, dan realitas sosial-politik Jamaika.

Kritik musik antarbudaya memiliki potensi besar, namun juga tantangan, salah satunya adalah jebakan ethnocentrism, yaitu menilai budaya lain dengan standar budaya sendiri. Selain itu, ada risiko over-interpretation, yaitu membebani musik dengan makna yang tidak sesuai dengan maksud penciptanya.

Melalui pendekatan yang reflektif dan kontekstual, kritik musik antarbudaya akan membuka wawasan baru dan memberikan ruang bagi keunikan identitas budaya. Kritik musik bukan hanya menjadi wacana akademik, melainkan memberikan kontribusi terhadap dialog antarbudaya yang lebih bermakna dan adil.

Peran Jurnalis Musik sebagai Penerjemah Budaya

Peran jurnalis musik sangat penting. Mereka tidak sekadar melaporkan fakta atau menilai kualitas musik, tetapi juga bertindak sebagai penerjemah budaya, yang membantu mengartikulasikan konteks, nilai, dan identitas dalam musik kepada publik dari berbagai latar belakang.

Jurnalis musik dituntut berperan ganda: sebagai kritikus dan juga sebagai mediator budaya. Selain menilai secara estetik dan teknis, mereka juga harus mampu menghubungkan karya musik dengan latar belakang sosial dan sejarah di mana karya tersebut lahir.

Dalam sebuah tulisan—baik ulasan maupun feature—narasi yang dikedepankan meliputi latar belakang musisi, cerita di balik lirik, bahkan konteks sosial-politik dari gaya musik tertentu. Hal ini menjadi penting terutama saat musik tersebut berasal dari budaya yang berbeda dengan segmen pembacanya.

Sebagai contoh, ketika jurnalis menulis tentang musisi Papua, penulis sebaiknya tidak hanya mengulas kualitas musiknya, tetapi juga menjelaskan akar sosial yang melatarbelakanginya, seperti kolonialisme, perlawanan kultural, dan isu tentang tanah. Dengan demikian, terjadi pemahaman lintas budaya.

Melalui wawancara mendalam, kajian kontekstual, dan ulasan kritis, jurnalis dapat membongkar kedalaman budaya dalam musik. Ini penting untuk meluruskan reduksi budaya yang sering terjadi, khususnya terhadap musik dari kultur non-dominan yang kerap dipahami secara sempit dan stereotipikal.

Sebagai penulis, penting untuk mendekati subjek dengan rasa hormat, membuka ruang bagi musisinya untuk berdialog, serta melakukan riset dengan pendekatan kontekstual. Hal ini untuk menghindari penyederhanaan dan misrepresentation terhadap budaya lain.

Ana María Ochoa Gautier, seorang etnomusikolog dari Kolombia, menyatakan bahwa tulisan musik yang berorientasi lintas budaya sebaiknya tidak hanya menyampaikan deskripsi, tetapi juga membuka ruang refleksi kritis terhadap posisi jurnalis itu sendiri sebagai pengamat. Artinya, jurnalis musik perlu menyadari bias kultural dan ideologis mereka dalam proses penulisan.

Simpulan

Jurnalis musik memegang peran vital sebagai penerjemah budaya. Melalui tulisan mereka, musik bukan hanya dinikmati, tetapi juga dipahami dalam konteks sosial dan historisnya. Mereka membantu membangun jembatan empati dan pemahaman lintas budaya melalui narasi, kritik, dan representasi yang bertanggung jawab.

Dalam dunia yang penuh dinamika kultural, peran ini menjadi semakin penting untuk menjaga keberagaman dan menghargai keunikan tiap ekspresi budaya.


Penulis: Djaelani, Direktur Jendela Ide Indonesia dan Pengajar Seni Musik Universitas Pasundan
Editor: Iman Haris M

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *