ekstrajurikulab-serrum-semestabudaya.id (Foto: SSAS)

Wicara Sastra: Kolektif Seni sebagai Sekolah

Membaca Ekstrakurikulab dalam Wicara Sastra

SEMESTABUDAYA.ID — Dalam ekosistem seni rupa di Indonesia, kolektif seni tidak hanya berperan sebagai ruang produksi kreatif, tetapi juga sebagai wadah pendidikan alternatif yang dinamis dan berbasis komunitas. Buku Ekstrakurikulab: Kolektif sebagai Sekolah menjadi salah satu publikasi yang mengangkat fenomena ini dengan meneliti enam kolektif seni dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagai upaya memperluas wacana yang diangkat dalam buku tersebut, Serrum mengadakan diskusi bertajuk Wicara Sastra Ekstrakurikulab: Kolektif sebagai Sekolah di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), Bandung pada Kamis, (27/02/2025).

Diskusi ini menghadirkan Karina Adistiana (psikolog pendidikan dan peneliti dalam proyek Ekstrakurikulab), Heru Hikayat (kurator utama SSAS), Asmudjo J. Irianto (seniman dan akademisi ITB), serta Yacobus Ari Respati (kurator dan pengajar seni). Mereka membahas peran kolektif seni dalam pendidikan alternatif serta tantangan dan peluang yang dihadapi.

Kolektif Seni sebagai Ruang Belajar yang Fleksibel

Wicara Sastra: Kolektif Seni sebagai Sekolah (Foto: SSAS)

Dalam diskusi ini, Karina Adistiana menyoroti bagaimana kolektif seni memiliki fleksibilitas yang memungkinkan mereka merancang sistem pembelajaran yang lebih organik dan partisipatif. “Kolektif seni tidak terikat oleh kurikulum baku seperti di institusi formal, sehingga pembelajarannya lebih cair. Banyak kolektif membangun ruang belajar berbasis diskusi, eksperimen, dan praktik langsung,” ujarnya. Model ini memungkinkan proses pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan komunitas dibanding sistem pendidikan formal yang sering kali hierarkis.

Lebih lanjut, Karina mengungkapkan bahwa pendekatan berbasis proyek dan kerja kolaboratif yang diterapkan oleh kolektif seni bisa menjadi inspirasi bagi dunia pendidikan secara luas. “Ada kolektif yang membuat kelas terbuka di ruang publik atau mengajak masyarakat terlibat dalam eksperimen seni mereka. Ini bisa menjadi model pendidikan yang lebih dinamis,” tambahnya.

Selasar Sunaryo Art Space dan Peran Ruang Seni dalam Wacana Pendidikan Alternatif

Sebagai tuan rumah diskusi, Heru Hikayat dari Selasar Sunaryo Art Space menegaskan pentingnya membahas kolektif seni dalam konteks pendidikan. “Ketertarikan SSAS terhadap diskusi ini berkaitan dengan perkembangan wacana seni dan pendidikan alternatif, terutama sejak ruangrupa terpilih sebagai Direktur Artistik Documenta 15 pada 2019. Ini menjadi pemicu penting dalam wacana seni rupa kontemporer di Indonesia,” jelasnya.

Heru juga menambahkan bahwa SSAS mendukung diskusi seperti ini karena melihat fenomena kolektif seni sebagai bagian dari lanskap pendidikan seni yang lebih luas. “Sebagai ruang seni, SSAS memiliki peran dalam menyediakan wadah untuk diskusi dan penelitian yang memperkaya pemahaman tentang kolektif seni,” ungkapnya.

Tantangan dan Keberlanjutan Kolektif Seni dalam Pendidikan

Seniman dan akademisi Asmudjo J. Irianto melihat kolektif seni sebagai ruang belajar berbasis pengalaman yang sangat relevan dengan seni rupa kontemporer. “Eksperimen dan proses sama pentingnya dengan hasil akhir. Kolektif seni sering menjadi tempat bagi seniman muda untuk mengembangkan pemikiran kritis mereka sebelum masuk ke dunia akademik atau profesional,” jelasnya.

Namun, ia juga menyoroti tantangan utama yang dihadapi kolektif seni, yaitu keberlanjutan. “Banyak kolektif masih mengandalkan kerja sukarela, yang dalam jangka panjang bisa melelahkan. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan membangun model pendanaan yang lebih stabil, misalnya melalui hibah, crowdfunding, atau kerja sama dengan institusi lain,” tambahnya.

Memperluas Jangkauan Kolektif Seni dalam Pendidikan

Yacobus Ari Respati menekankan bahwa agar lebih efektif, kolektif seni perlu membuka ruang belajar di luar galeri atau ruang seni konvensional. “Kolektif seni yang berhasil menjangkau lebih banyak orang biasanya adalah yang aktif berinteraksi dengan komunitas sekitar, baik melalui program publik, lokakarya, atau platform digital. Teknologi juga bisa menjadi alat penting dalam mendistribusikan pengetahuan secara lebih luas,” katanya.

Serrum dan Penelitian Kolektif Seni sebagai Sekolah

Asrul dari Serrum, menjelaskan bahwa penelitian Ekstrakurikulab berangkat dari pengalaman kolektif mereka sendiri. “Kami awalnya menyebut diri sebagai organisasi atau komunitas seni, tetapi kemudian berkembang menjadi kolektif. Kami melihat bahwa sistem pendidikan formal tidak selalu mengakomodasi kebutuhan personal dan minat individu. Dari pengalaman itu, kami mulai melihat bagaimana kolektif seni bisa berfungsi sebagai ruang belajar alternatif,” paparnya.

Dalam penelitian ini, Serrum memilih enam kolektif seni dari berbagai daerah, yaitu Jatiwangi Art Factory (Jawa Barat), Forum Sudut Pandang (Palu), Komunitas KAHE (Maumere), Indonesia Art Movement (Jayapura), Sudut Kalisat (Jember), dan Tepian Kolektif (Berau). Mereka berencana memperluas penelitian ini hingga tahun 2025 dan mengkaji lebih banyak kolektif seni di tingkat nasional.

Kolektif Seni dan Masa Depan Pendidikan Alternatif

Diskusi Wicara Sastra Ekstrakurikulab membuka perspektif baru tentang bagaimana kolektif seni dapat berkontribusi dalam dunia pendidikan. Dari fleksibilitas sistem belajar hingga tantangan keberlanjutan, kolektif seni membuktikan bahwa ruang seni bisa menjadi sekolah yang lebih organik, kontekstual, dan inklusif.

Dengan adanya penelitian dan diskusi seperti ini, diharapkan kolektif seni semakin diakui sebagai bagian dari ekosistem pendidikan yang lebih luas dan berkelanjutan.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *