Setiap kali kita menyebut nama Ki Hajar Dewantara, bayangan yang muncul adalah sosok pendidik, bapak pendidikan nasional, pendiri Taman Siswa, dan pencetus semboyan legendaris, “Tut Wuri Handayani”.
Ia lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta—sehingga, hari kelahirannya kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Bukan tanpa alasan, sebab sepanjang hidupnya ia meletakkan dasar pendidikan yang berakar pada nilai-nilai budaya dan kemerdekaan berpikir.
Ki Hajar pernah berkata, “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin terdapat dari pendidikan.” (Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, 1962). Ungkapannya ini menunjukkan bahwa pendidikan, dalam pandangannya, bukan sekadar soal otak, tetapi juga soal hati dan jiwa—dan di sinilah budaya mengambil tempat.
Pendidikan sebagai Jalan Menuju Kebudayaan
Ki Hajar lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Sebelum mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, ia aktif sebagai wartawan dan penulis. Ia banyak menulis tentang kemerdekaan berpikir, keadilan sosial, dan pentingnya memperjuangkan hak-hak pribumi, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermartabat dan sesuai dengan jati diri bangsa.
Sebagaimana ditulis oleh Peter Carey dalam Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara): National Hero or National Father? (Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 2000), Ki Hajar melihat pendidikan kolonial sebagai alat penjajahan kultural. Karena itu, ia merintis pendidikan yang berpijak pada kebudayaan bangsa sendiri—pendidikan yang memerdekakan manusia Indonesia lahir dan batin.
Di Taman Siswa, pendidikan tidak terlepas dari seni dan tradisi. Anak-anak belajar karawitan, tari, wayang, dan sastra Jawa. Bagi Ki Hajar, kesenian adalah sarana membangun budi pekerti. Seperti yang ia tulis dalam kumpulan naskah Pusara, “Kesenian adalah bagian dari pendidikan, karena ia mendidik rasa. Pendidikan tanpa rasa adalah pendidikan yang kering.”
Gagasan ini kemudian dikenal dengan teori Tri-N: Niteni, Nirokke, Nambahi (memperhatikan, meniru, menambahkan). Sebuah metode belajar yang lahir dari tradisi lisan dan praktik budaya lokal, yang menekankan pada proses pembelajaran alami dan kontekstual.
Dalam tulisannya di Majalah Wasita (1935), Ki Hajar juga memperkenalkan konsep Trikon: kontinuitas, konvergensi, dan konsentrisitas. Menurutnya, kebudayaan harus dijaga kesinambungannya, namun juga harus terbuka pada pertemuan dengan budaya lain, dan tetap berpusat pada nilai-nilai luhur bangsa. (Lihat: Darmaningtyas, “Ki Hadjar Dewantara dan Gagasan Pendidikan Berbasis Budaya,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 6, No. 2, 2021).
Itulah sebabnya Ki Hajar sangat menentang konsep pendidikan yang sekadar mengimpor sistem Barat. Dalam artikel Als ik eens Nederlander was (1913), ia menulis dengan tajam, “Apa yang disebut kemajuan, apabila tidak sejalan dengan kebudayaan sendiri, bisa menjadi alat penjajahan baru.” (dikutip dalam Carey, 2000).
Pendidikan, bagi Ki Hajar, adalah upaya mencerdaskan tanpa mencabut akar budaya. Maka tidak heran jika Taman Siswa tidak hanya melahirkan intelektual, tapi juga seniman, budayawan, dan pejuang kemerdekaan.
Belajar dari Ki Hajar, Kini dan Nanti
Hari ini, ketika dunia pendidikan kita lebih sibuk mengejar standar internasional dan kecakapan digital, gagasan-gagasan Ki Hajar terasa semakin relevan. Pendidikan kita semakin mengejar target-target kuantitatif: nilai, indeks prestasi, ranking. Sementara aspek budaya dan budi pekerti cenderung terpinggirkan.
Padahal, seperti diingatkan oleh Sindhunata, “Pendidikan tidak hanya harus membuat anak pandai, tapi juga membuatnya menjadi manusia.” (Basis, No. 09-10, 2015). Dan itulah yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara sejak awal: pendidikan sebagai proses pembudayaan.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar seremonial. Ini adalah momen untuk merenungi kembali: apakah pendidikan kita sudah cukup membumi dan membudaya? Apakah para guru dan pengambil kebijakan sudah mewarisi semangat Ki Hajar, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai budayawan?
Karena dalam dunia Ki Hajar, pendidikan dan budaya adalah dua sisi dari satu mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Dan dalam dunia kita hari ini, semangat itu layak dihidupkan kembali.