Tulisan tentang kritik musik ini akan menjadi seri dari beberapa tulisan. Harapannya, suatu saat dapat dikembangkan menjadi sebuah buku kritik musik. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh mulai lunturnya posisi kritik atau tulisan kritik musik di media massa.
Keinginan untuk menghidupkan kembali kritik musik muncul dari tumbuhnya dunia musik secara signifikan, yang sayangnya tidak dibarengi dengan catatan media yang memberikan ulasan terhadap karya-karya musik tersebut. Padahal, kritik bukan semata bentuk hujatan atau penilaian negatif. Kritik justru dibutuhkan sebagai penyeimbang sekaligus pembuka ruang wacana pengetahuan tentang musik itu sendiri.
Tujuh tulisan yang direncanakan dalam seri ini mencakup:
- Ketika Musik Dinilai: Antara Selera dan Analisis
- Apa Itu Musikologi, dan Apa Gunanya?
- Ketika Kritik Menjadi Dangkal
- Meminjam Mata Musikologi dalam Kritik
- Kritik Musik sebagai Jembatan Budaya
- Membangun Kritik Musik yang Bernas
- Masa Depan Kritik Musik di Era Digital
Ketika Musik Dinilai: Antara Selera dan Analisis
Secara etimologis, istilah kritik berasal dari bahasa Yunani: krites dan krinon yang berarti hakim atau menghakimi. Kritenion berarti penghakiman, dan kritikos berarti hakim dalam kesenian. Dalam bahasa Inggris, istilah ini berkembang menjadi critique, yang berarti kupasan atau tinjauan.
Sebagai bagian dari seni, musik tentu membutuhkan kritik sebagai penyeimbang. Kritik berfungsi sebagai jembatan atau mediator antara pencipta dan penikmat, serta antara karya seni itu sendiri dengan publik. Fungsi ini sangat penting karena tidak semua penikmat karya seni memahami dengan jelas apa yang ingin disampaikan penciptanya.
Fungsi kritik musik mencakup:
- Evaluatif: Penilaian musik melalui pendekatan terhadap unsur-unsurnya, seperti harmoni, melodi, ritme, dinamika, orisinalitas, serta unsur vokal dan instrumental.
- Apresiatif: Membuka wawasan terhadap konteks, gaya, dan makna karya musik, termasuk bagaimana lirik merefleksikan isu sosial atau kondisi budaya.
- Edukatif: Kritik sebagai sarana pembelajaran, menambah wawasan tentang sejarah, teknik, dan teori musik. Misalnya, bagaimana progresi akor memengaruhi respons emosional.
- Pengembangan: Kritik yang konstruktif dapat mendorong musisi mengeksplorasi genre atau memperdalam karakter musikal mereka.
- Dokumentatif: Kritik mendokumentasikan karya dan peristiwa musik sebagai bahan kajian masa depan, termasuk peran musisi dalam perubahan gaya musik.
- Sosial dan Budaya: Musik mencerminkan budaya masyarakat atau komunitasnya. Kritik dapat mengangkat dimensi sosial dan ideologis karya dan penciptanya.
Kritik Musik pada Media Populer
Kritik musik di media populer sering dikategorikan sebagai kritik jurnalistik. Bentuk dan pendekatannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya, pendidikan, pengalaman, dan kepekaan penulisnya. Kritik populer biasanya membahas karya-karya yang sedang naik daun.
Perkembangan media juga memengaruhi bentuk penyampaian kritik: media sosial memiliki karakter berbeda dibandingkan media daring seperti situs berita atau blog.
Unsur-unsur kritik mencakup:
- Deskripsi: Menjelaskan hal-hal yang tampak secara langsung, termasuk proses kreatif dari gagasan hingga menjadi karya.
- Analisis Formal: Menganalisis aspek-aspek visual atau auditif yang tampak, termasuk transformasi gagasan secara bertahap.
- Interpretasi: Menafsirkan makna dan pesan yang terkandung dalam karya.
- Penilaian: Merangkum tiga unsur di atas untuk memberikan nilai, bukan dalam angka, tapi dalam pemahaman akan nilai-nilai estetika dan makna karya.
Sejarah Singkat Kritik Musik di Media Massa
Kritik musik berkembang seiring dengan pertumbuhan ekosistem musik dan memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Kritik muncul dalam berbagai media seperti cetak, radio, hingga daring.
Pada akhir abad ke-18, kritik musik tumbuh di media cetak Eropa, khususnya untuk musik klasik. Tokoh seperti Hoffmann dan Eduard Hanslick menulis kritik dengan pendekatan estetika, analitik, serta pandangan filosofis dan budaya.
Kemajuan dunia percetakan memungkinkan surat kabar memuat ulasan musik secara rutin. Media seperti The Times (London), Le Figaro (Paris), dan The New York Times (Amerika Serikat) memuat liputan pertunjukan musik.
Di Indonesia, majalah Aktuil yang terbit sejak 1967 memuat banyak laporan dan kritik musik, terutama dari Bandung. Almarhum Deni Sabri adalah pendiri sekaligus kontributor utama. Remy Silado dan Bens Leo juga dikenal sebagai penulis ulasan musik dengan gaya khas mereka.
Radio juga menjadi media penting kritik musik. RRI di Indonesia dan BBC di Inggris menyiarkan pertunjukan musik disertai komentar singkat dari penyiar sebagai bentuk kritik auditif.
Perkembangan teknologi digital pada akhir abad ke-20 membawa kritik musik ke blog pribadi, media komunitas, dan media sosial seperti Instagram, YouTube, TikTok, serta podcast. Kritik kini hadir dalam bentuk teks, audio, dan video berdurasi singkat. Dalam konteks ini, kekuatan narasi sangat penting.
Subjektivitas, Clickbait, dan Gaya Hidup
Sering kita mendengar ungkapan: “semua tergantung selera”. Kalimat ini sering digunakan sebagai pembenaran dalam menilai sesuatu, termasuk musik. Pada titik ini, subjektivitas memang berperan penting. Namun dalam konteks kritik, seorang kritikus sebaiknya mengedepankan objektivitas, dengan menilai karya berdasarkan kaidah keilmuan.
Di dunia digital, persaingan antar media mendorong penggunaan clickbait—judul atau visual sensasional—untuk menarik perhatian. Tujuannya adalah meningkatkan jumlah klik dan mendatangkan pendapatan dari iklan. Meski demikian, penggunaan clickbait secara berlebihan dapat merusak reputasi media.
Dalam kehidupan seni, terdapat juga fenomena snobisme. Orang ingin tampil mengikuti tren, takut tertinggal. Istilah FOMO (Fear of Missing Out) menggambarkan gejala ini. Contohnya, saat orkes Twilite muncul pada dekade 1990-an, golongan elit merasa perlu hadir di konsernya. Di kalangan kolektor seni, dikenal istilah “kolektor katanya”—yang membeli karya hanya berdasarkan tren atau rekomendasi orang lain.
Kritikus musik sebaiknya tetap menjaga objektivitas. Selera memang memainkan peran, namun harus disertai perangkat dan pendekatan keilmuan. Kritik yang dibangun atas dasar analisis yang jernih akan menghasilkan tulisan yang lebih kuat dan bermanfaat.
Penulis: Djaelani, Direktur Jendela Ide Indonesia dan Pengajar Seni Musik Universitas Pasundan
Editor: Iman Haris M
Bagian ke-dua: Apa itu Musikologi dan Apa Gunanya