Ketika Kritik Menjadi Dangkal

Penulis: Djaelani, M.Sn.

Artikel ini merupakan bagian ketiga dari Seri Kritik Musik. Artikel pertama, Ketika Musik Dinilai: Antara Selera dan Analisis dapat dibaca pada tautan ini.


Apakah Kritik Masih Dibutuhkan dan Memiliki Makna?

Ketika kritik kehilangan makna dan niat membangun ekosistem, lantas bagaimanakah fungsi dan kedudukan kritik? Di tengah arus situasi global yang serba cepat berubah dan komunikasi yang begitu cepat tersampaikan, publik justru menjadi bagian yang terpisahkan dari kritik yang hadir di media sosial.

Kritik seyogianya menjadi alat atau instrumen kontrol sosial sekaligus berfungsi sebagai evaluasi. Secara ideal, kritik lahir dengan niatan membangun. Oleh karena itu, kritik seharusnya memiliki argumentasi yang rasional. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit kritik lahir secara emosional dan cenderung menghakimi. Secara analisis pun sangat rendah dan memiliki kecenderungan yang dangkal.

Terkadang kita melihat kritik hanya sekadar berbunyi—dituliskan tanpa ada kejelasan maksud dan tujuannya. Hanya berisi celaan dan cercaan, tidak masuk pada konteks yang sedang dibicarakan. Kritik seperti ini kerap menjadi viral, namun sama sekali tidak memiliki manfaat. Kritik yang konstruktif dan sehat sangat dibutuhkan masyarakat sebagai konsekuensi dari kehidupan demokratis yang berkembang.

Dalam konteks musik, kritik dangkal yang hanya memberikan penilaian singkat tanpa analisis mendalam akan menyesatkan para penikmat musik yang membutuhkan pengetahuan dan informasi lebih jauh mengenai sebuah karya. Kritik model seperti ini berpotensi merusak pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap musik. Sebaliknya, kritik dengan analisis mendalam, objektif, dan berbasis argumentasi yang kuat akan membangun nilai edukasi yang tinggi serta memberikan kebermanfaatan.

Kritik Musik Populer yang Hanya Fokus pada Tren, Lirik, atau Persona Artis

Secara umum, kritik musik populer merupakan tulisan yang mengulas musik yang masuk dalam kategori populer. Jazz, rock, pop, dan genre lainnya yang telah menjadi konsumsi massal menjadi objek dalam penulisan kritik populer. Aspek sosial budaya dan ranah komersial sering menjadi pertimbangan dalam penulisan, di samping persoalan teknis dan artistik dari karya musik tersebut.

Penulisan kritik yang hanya terfokus pada tren musik yang sedang booming hanya akan terjebak pada daya tarik media. Penilaiannya tidak tertuju pada konteks musikal, bahkan cenderung mengabaikan relevansi sosial. Kritik seperti ini lebih tertarik membahas gaya fesyen saat tampil, hubungan artis dengan penggemar, atau citra media sosialnya.

Fenomena budaya yang hadir bersama musik sebenarnya bisa dibahas sebagai fokus utama. Misalnya, lirik dapat ditinjau apakah mencerminkan isu sosial, percintaan, atau kecenderungan viral. Namun struktur musik, melodi, harmoni, dan kerumitan produksi sering kali tidak menjadi perhatian.

Contoh-contoh kritik dangkal yang sering dijumpai di media antara lain:

  • Artikel yang membahas bagaimana seorang artis mengubah citra dirinya dari memainkan genre rock ke jazz dan dampaknya terhadap penggemar.
  • Kritik lagu yang hanya membicarakan gaya rambut, kostum, dan tampilan grup alih-alih menganalisis karyanya.
  • Ulasan lagu yang hanya fokus pada makna lirik dari sudut pandang pengalaman pribadi seseorang.

Kritik yang Kehilangan Konteks Musikal

Musik terdiri dari banyak unsur: melodi, tangga nada, harmoni, dan elemen lainnya. Sebagai produk budaya, musik tidak hanya bisa ditinjau dari elemennya saja, tetapi juga bagaimana musik itu tumbuh dalam komunitasnya dan memiliki keterhubungan kompleks dengan masyarakat pendengarnya.

Kritik yang tidak menyinggung konteks musikal biasanya hanya menonjolkan opini pribadi. Berikut adalah ciri-ciri kritik musik yang kehilangan konteks musikal:

  1. Tidak menyentuh narasi atau elemen penting seperti melodi, harmoni, ritme, produksi suara, dan struktur lagu. Kritik semacam ini tidak berbobot dan tidak memberikan nilai tambah.
  2. Mengabaikan genre sebagai konteks pertimbangan. Setiap genre memiliki sejarah dan kaidahnya sendiri. Mengabaikan ini akan menyebabkan ketidakadilan dalam menilai lintas genre.
  3. Mengabaikan konteks sosial budaya musik. Musik populer sering kali lahir dari situasi sosial, ekonomi, politik, dan budaya tertentu. Pengabaian ini akan:
    • Salah memaknai pesan dalam lirik.
    • Mengabaikan potensi musik sebagai media perlawanan dan ekspresi identitas kolektif.
    • Menempatkan musik secara elitis dan menghilangkan empati terhadap penciptanya.
  4. Menyampaikan selera pribadi tanpa argumen rasional dan musikal yang jelas, sehingga menutup ruang dialog.
  5. Tidak mengikuti perkembangan musik, sehingga salah menilai inovasi sebagai kemunduran karena memakai standar lama dalam kritik.

Generalisasi dalam Mengulas Musik Lintas Budaya

Musik mengalami perkembangan definisi—dari yang menganggapnya sebagai suara Tuhan hingga sebagai ungkapan perasaan melalui nada. Musik memiliki potensi sebagai bahasa universal. Namun, sebagai produk budaya, ulasan musik seharusnya memperhatikan konteks karya tersebut secara mendalam agar tidak menyederhanakan keberagaman budaya.

Generalisasi dalam mengulas musik lintas budaya dapat menyebabkan penyempitan makna. Ini terjadi ketika kritik tidak mempertimbangkan konteks sosial, historis, dan kekhasan lokal dari musik tersebut.

Ciri-ciri generalisasi dalam kritik lintas budaya antara lain:

  • Menyamakan karakter musik dari wilayah tertentu, misalnya menyebut semua musik Asia bersifat meditatif tanpa memperhatikan keragamannya.
  • Membentuk stereotip kebudayaan dan mengabaikan spektrum luas budaya.
  • Menyederhanakan pemahaman hanya dari aspek bunyi tanpa menyentuh konteks sosial dan historis.
  • Menggunakan pendekatan tunggal dengan kacamata estetika Barat, mengabaikan keberagaman perspektif.
  • Menghilangkan suara lokal, yang membuat kritik menjadi sepihak dan berisiko kolonialistik karena menihilkan pengetahuan komunitas lokal.

Kritik musik yang baik harus mempertimbangkan konteks musikal secara utuh—baik dari aspek teknis, estetis, maupun kultural. Kritik yang kehilangan konteks ini akan menjadi dangkal, tidak informatif, dan menciptakan miskonsepsi terhadap musik.

Simpulan

Kritik menjadi dangkal ketika kehilangan fondasi intelektual, objektivitas, dan etika. Dalam kondisi demikian, kritik gagal menjalankan fungsinya sebagai pendorong perubahan dan pencerdas publik.

Agar bermakna, kita perlu menghidupkan kembali tradisi berpikir reflektif, mengedepankan data dan argumen, serta menjadikan kritik sebagai ruang dialog, bukan medan perang emosi atau kepentingan.

Kritik musik yang bermutu harus berpijak pada pemahaman menyeluruh terhadap konteks musikal—baik teknis, estetis, maupun kultural. Tanpa fondasi ini, kritik mudah tergelincir menjadi simplistik, reaktif, bahkan menyesatkan. Oleh karena itu, kritikus musik yang bertanggung jawab perlu memiliki kepekaan musikal, keterbukaan terhadap keragaman, kemampuan analitis yang jernih, serta menjunjung tinggi etika profesi. Dengan begitu, kritik dapat berfungsi sebagai ruang refleksi, edukasi, dan dialog yang konstruktif dalam lanskap musik yang terus berkembang.


Penulis: Djaelani, Direktur Jendela Ide Indonesia dan Pengajar Seni Musik Universitas Pasundan
Editor: Iman Haris M


Bagian ke-dua: Apa itu Musikologi dan Apa Gunanya

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *