Dari Ranting ke Cangkir: Ramu Saji Teh Ciwidey di Rumah Pemajuan Kebudayaan pada Senin 28/10/2024 (Foto: Rumah Pemajuan Kebudayaan)

Dari Ranting ke Cangkir: Ramu Saji Teh Ciwidey di Rumah Pemajuan Kebudayaan

Workshop dan Bincang Santai Ramu Saji Teh Ciwidey di Rumah Pemajuan Kebudayaan

Menikmati teh telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia, namun ada teknik dan tips khusus untuk mendapatkan cita rasa dan manfaatnya secara maksimal.

Workshop dan Bincang Santai Ramu Saji Teh di Rumah Pemajuan Kebudayaan Jendela Ide Indonesia mengupas tuntas proses pembuatan teh dari ranting hingga ke cangkir.

Kegiatan yang dilaksanakan di Dalemwangi Art Space, Bandung pada hari Senin (28/10/2024) ini bagian dari Temu Komunitas Budaya yang menghadirkan petani, pelaku industri dan akademisi.

Sejarah dan Ragam Teh

Sejarah dan Asal-Usul Teh

Tanaman teh (Camellia Sinensis) pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Andreas Cleyer, saudagar VOC, yang juga seorang dokter, pengajar dan ahli botani berkebangsaan Jerman di tahun 1684.

Saat itu teh masih merupakan tanaman hias dan belum menjadi komoditas perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari catatan François Valentijn, seorang misionaris Belanda, yang menyebutkan adanya perdu teh muda dari China di Taman Istana Gubernur Jendral Champhuys di Batavia pada 1694.

Baru pada 1728, pemerintah kolonial baru memulai ujicoba budidaya teh di Hindia Belanda dengan mengimpor biji teh dalam jumlah banyak dari Cina, namun usaha tersebut kurang berhasil.

Ujicoba berikutnya dilakukan pada tahun 1824. Philipp Franz von Siebold, memperkenalkan budidaya teh dengan bibit yang dibawanya dari Jepang.

Dua tahun berlalu, di tahun 1826, teh akhirnya berhasil ditanam dan melengkapi koleksi Kebun Raya Bogor. Lalu, setahun kemudian budidaya teh dikembangkan di Garut dan Purwakarta, Jawa Barat.

Produksi teh Jawa, khususnya Priangan, semakin meningkat setelah Gubernur Jendral Johannes van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) pada 1830.

Melalui Cultuurstelsel, pemerintah kolonial Belanda mewajibkan setiap desa menyediakan 20% dari tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya teh, kopi, dan kakao.

Hasil cultuurstelsel harus dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditetapkan. Sementara warga desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 75 hari dalam setahun pada perkebunan milik pemerintah.

Cultuurstelsel berhasil mendongkrak produktivitas komoditas ekspor Hindia-Belanda, dan dengan demikian, pendapatan ekonomi Belanda.

Di tahun 1835, teh kering olahan dari Jawa akhirnya sampai di pelabuhan Amsterdam, sebelum disebarkan kembali di pasar-pasar Eropa.

Awal Mula Perkebunan Teh di Ciwidey

Budidaya teh di Ciwidey bermula dengan pengembangan onderneming (perusahaan perkebunan) teh Rudolf Eduard Kerkhoven pada 1873.

Kelahiran UU Agraria di tahun 1870 turut membantu para pengusaha swasta seperti Kerkhoven mengembangkan usahanya.

Dengan kelahiran UU Agraria, Kerkhoven mendapat hak erfpacht yang membuatnya bisa terus memperluas tanahnya dari tahun ke tahun, hingga terbangun kerajaan bisnisnya, Kerkhoven & Co.

Sepeninggal Kerkhoven pada tahun 1918, kerajaan bisnisnya masih dikuasai oleh keluarganya, hingga seiring penurunan harga teh di pasaran dunia juga depresi ekonomi di tahun 1930-an, pengelolaan kebun tehnya diambil alih pemerintah kolonial, dan kemudian pemerintah Republik setelah Indonesia merdeka.

Perkembangan Perkebunan Teh Rakyat di Ciwidey

Dari Ranting ke Cangkir: Ramu Saji Teh Ciwidey di Rumah Pemajuan Kebudayaan pada Senin 28/10/2024 (Foto: Rumah Pemajuan Kebudayaan)
Dari Ranting ke Cangkir: Ramu Saji Teh Ciwidey di Rumah Pemajuan Kebudayaan pada Senin 28/10/2024 (Foto: Rumah Pemajuan Kebudayaan)

Menurut Pak Cucu, petani teh yang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan Ramu Saji tersebut, perkebunan rakyat tampak mulai berkembang terutama di sekitar tahun 1970-an.

Perkebunan Pak Cucu sendiri pada awalnya seluas 700 m2, hingga saat ini, dia dan kelompok taninya mengelola lahan seluas 4 hektare melalui skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM).

Namun demikian, meski saat ini mereka dapat mengelola lahan lebih luas, perkebunan rakyat pada umumnya masih terkendala pengolahan paska panen.

“Kendalanya ada di pengolahan,” ungkap Pak Cucu kepada peserta yang hadir dalam kegiatan Ramu Saji Teh tersebut.

Sinergi Ramu Saji dan Inovasi Teknologi

Beruntung Pak Cucu dan kelompok taninya tidak menghadapi masalah tersebut sendirian, “Kemarin dibantu komunitas dari Yogya dan Ruma Ramu, juga Pak Bolo ini dari Polman,” tuturnya.

Bolo Dwiartomo, dosen Politeknik Manufaktur Negeri Bandung (Polman Bandung), yang saat itu juga hadir sebagai narasumber kemudian menjelaskan awal keterlibatannya di dunia teh.

“Berawal dari penasaran dengan harga mesin-mesin pengolah teh di pasaran yang harganya bisa mencapai milyaran rupiah,” ungkap Bolo mengawali paparannya.

Menurutnya, harga mesin-mesin pengolah teh yang begitu tinggi tentu akan sulit dijangkau oleh perkebunan dan industri teh rakyat.

Padahal, mekanisasi pengolahan teh dapat mendukung standarisasi mutu teh yang dihasilkan, dan pada gilirannya meningkatkan daya saing produk teh Indonesia, khususnya perkebunan rakyat, di pasar internasional.

Berangkat dari keinginannya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan nilai tambah ekonomi produk mereka, Bolo mulai melakukan uji coba dan pengembangan mesin roasting dan pelinting daun teh.

Proses Pembuatan Teh: Dari Ranting ke Cangkir

Dari Ranting ke Cangkir: Ramu Saji Teh Ciwidey di Rumah Pemajuan Kebudayaan pada Senin 28/10/2024 (Foto: SemestaBudaya.ID)

Untuk mendapatkan cita rasa dan manfaat teh secara maksimal memang tidak mudah, di samping perawatan tanaman teh, juga tahap paska panen hingga penyajian.

Ragam Jenis Teh

Ada banyak jenis teh, antara lain: teh hijau (green tea), teh hitam (black tea), teh putih (white tea) dan teh oolong (oolong tea). Perbedaan jenis ini lahir dari perbedaan pengolahan paska panen daun teh tersebut.

Pemetikan Daun Teh

Kang Iyus, putera Pak Ucu yang juga menjadi narasumber dalam presentasinya menjelaskan, “Pemanenan daun teh yang benar dilakukan dengan cara memetik bagian pucuk daunnya.”

“Pemetikan pucuk teh yang tepat dapat membuat produksi tanaman berkelanjutan,” paparnya menjelaskan alasan di balik pilihan pada pucuk daun teh.

Tahap Pengolahan Teh

Pengolahan daun teh sebelum siap saji secara umum meliputi: proses pelayuan, proses penggulungan, proses fermentasi, dan proses pengeringan.

Cara Menyeduh dan Menyajikan Teh

Dari Ranting ke Cangkir: Ramu Saji Teh Ciwidey di Rumah Pemajuan Kebudayaan pada Senin 28/10/2024 (Foto: SemestaBudaya.ID)

Setelah melalui tahapan pengolahan tersebut di atas, ada teknik dan tips khusus untuk mendapatkan aroma dan cita rasa teh yang optimal.

Untuk dua gram daun teh kering, dituang dengan air sebanyak 100 ml dengan suhu sekitar 80 sampai dengan 90 derajat, yang dapat diseduh ulang hingga lima kali.

Para peserta workshop juga berkesempatan mengikuti demonstrasi teknik menyeduh dan menyajikan dengan cara khas Cina dan Barat.

Berbagi Pengetahuan Menumbuhkan Apresiasi

Djaelani, Direktur Jendela Ide Indonesia, berharap bahwa kegiatan ini dapat meningkatkan pengetahuan peserta mengenai proses pembuatan teh dan apresiasi terhadap produk teh lokal.

Workshop ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru kepada peserta mengenai proses pembuatan serta penyajian teh hijau dan teh hitam, juga meningkatkan apresiasi terhadap produk teh lokal,” paparnya kepada SEMESTABUDAYA.ID.

Di samping itu, dia juga berharap, “Dengan kegiatan ini, Kebun Teh Ciwidey-Cibeber juga bisa lebih dikenal sebagai destinasi wisata edukasi yang menarik.”

Di sisi lain, Andar Manik, sebagai moderator yang mewakili Rumah Pemajuan Kebudayaan juga menggaris bawahi bahwa perbincangan tentang teh ternyata memiliki dimensi yang luas, “dari mulai aspek historis kolonial hingga permasalahan status penguasaan lahan.”

Ragam wawasan dan inspirasi terbagi dalam Workshop dan Bincang Santai Ramu Saji Teh di Rumah Pemajuan Kebudayaan kali ini, semoga dapat terus mendorong sinergi semua pihak dalam upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan Indonesia.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *