Penulis: Lintang Pramudia Swara
Istilah World Jazz telah dikenal sebagai pemersatu, mewujud sebagai ruang dialog di antara berbagai budaya dan perlintasan genre musik yang mengusung ciri khas tradisinya masing-masing. Bandung World Jazz – sebuah perhelatan berskala internasional mengusung “A Voice of a New World” dipelopori oleh Yayasan Jendela Ide Indonesia dalam rangka mengajak pencinta musik jazz untuk berkolaborasi dan berbagi dalam dunia tanpa batas.
Perhelatan ini meleburkan segala konvensi dan gaya musik yang distingtif untuk menjalin dialog yang intens dalam memaknai musik sebagai sebuah bahasa pembebasan sebagaimana yang diungkap oleh Djaelani dalam kuratorial Bandung World Jazz.
Inisiasi Jendela Ide sebagai garda terdepan yang mewacanakan ruang kultural baru telah mengisi khasanah musik yang selama ini telah tersekat oleh batasan definitif. Terma “Jazz” yang melekat dengan Amerika dan menjelma sebagai ajang untuk berimprovisasi mendapat respons dan pembongkaran yang serius. Bagaimana tidak? Dunia barat yang selama ini membuat pembatasan genre telah menempatkan jazz di posisi yang eksklusif dan seolah tidak bisa diganggu. Orang-orang awam hanya mengenal musik jazz di tataran yang sederhana sebagai permainan piano atau saksofon dengan progresi akor yang tidak lazim dan terdengar memukau karena nuansa bunyi dan kompleksitasnya.
Di samping itu rupanya dunia punya pergerakan yang luar biasa masif dalam berekspresi melalui musik jazz. Idiom Jazz tidak lagi terbatasi dengan instrumentasi dan material musikal yang kaku sebagaimana yang kita kenal di dunia Barat- terlebih di Amerika.
Bandung World Jazz yang terselanggara pada tahun 2009 menjelma sebagai sinkretisme baru di dalam dunia musik. Penyatuan terma “World” dan “Jazz” hendak mengetengahkan bahwa tiap lanskap geografis memiliki nilai tawarnya sendiri. Setiap negara, bakan masing-masing kota di penjuru dunia bermusik jazz dengan kolaborasi lintas instrumen, melibatkan alat musik etnik dan idiom musik lokal yang menarik untuk diselami.
Grup musik tersohor Indonesia seperti Krakatau dan Suara Sama bahkan secara tidak sadar telah meleburkan batasan konvensi musik. Mereka menggali kekayaan bunyi dari budaya lokal dengan keseriusan dan kematangan.
Sejumlah pengamat barangkali skeptis dan melihat bahwa sinkretisme akan terjebak pada eklektisitas dan mau mengedepankan eksotisme musik saja. Skeptisisme ini terbukti keliru karena grup musisi yang berkiprah di jalur “World Jazz” justru dengan kemuliaannya sedang menawarkan kesetaraan bunyi. Instrumen musik etnik tidak ditempatkan sebagai materi dan penghias, akan tetapi mendapat perlakuan setara yang menciptakan ruang dialog bunyi. Tiap instrumen bertukar peran, pola ritmik kendang dapat dimainkan oleh instrumen cajoon, bahkan laras pelog dapat dibunyikan di instrumen keyboard. Lebih dari itu, instrumen etnik yang biasanya sarat dengan pakem dapat keluar untuk menciptakan imrovisasi musikal yang mewarnai jalinan musik jazz yang ditampilkan para musisi World Jazz.
Kiprah Jendela Ide dan segudang talenta musisi dunia dalam gelaran Bandung World Jazz yang terselengara dengan sukses di Sasana Budaya Ganesha, Kota Bandung telah menularkan semangat yang begitu besar bagi gelaran festival di penjuru negeri. Sebut saja Ngayogjazz, Ubud Village Jazz Festival, hingga Prambanan Jazz yang selalu ditungg-tunggu kehadirannya di setiap tahun.
Ngayogjazz pada awalnya tercatat hanya melibatkan musisi musisi dalam negeri saja dalam panggung festivalnya. Selang dua tahun, Ngayogjazz memberanikan diri untuk menampilkan musisi manca negara, dengan bertahan pada idealismenya untuk tetap menjadi tempat yang inklusif dan merakyat karena lokasi festivalnya yang berlangsung di berbagai desa di Yogyakarta pada setiap tahunnya. Tidak ada spirit komersil dan penyelenggarannya murni untuk menumbuhkan perekonomian masyarakat kecil, begitu juga membuat musik jazz menjadi sesuatu yang boleh dinikmati siapa pun tanpa mengeluarkan biaya, termasuk rakyat biasa yang bermukim di desa-desa.
Bagaimana dengan Ubud Village Jazz Festival dan Prambanan Jazz? Keduanya berorientasi komersil dan punya segmentasi pasar yang berbeda. Musisi yang hadir pun tidak didominasi oleh kalangan jazz, apa lagi spesifik musisi World Jazz- secara sepintas bisa terlihat. Tiap festival jazz memang punya misi yang berbeda-beda. World Jazz sebagai wacana kultural turut didorong oleh suara maestro seperti Irwansyah Harahap sebagai seorang personil Suara Sama, begitu juga Djaduk Ferianto yang tidak pernah terlepas andil besarnya bagi bertumbuhnya ekosistem musik Jazz di tanah air.
Wajah musik jazz di tanah air bahkan terma “World Jazz” belum tentu menjadi wacana yang demikian hidupnya tanpa kiprah keduanya dalam membumikan musik jazz. Mengutip hasil pertemuan Indonesian World Jazz Meeting tahun 2023, Kemenparekraf dan Dirjen Kebudayaan mengupayakan tersalurkannya Dana Abadi Kebudayaan – Dana Indonesiana untuk perhelatan ragam festival Jazz, terutama dengan mengedepankan Revolving Fund agar pemodalan acara musik tidak berhenti di tahap satu kali pembiayaan, akan tetapi dapat menjadi modal untuk keberlangsungan festival di tahun-tahun yang yang berikutnya. Langkah ini menjadi awalan yang baik bagi kesuburan ekosistem jazz yang semakin menguat seiring dengan sinergi yang dibangun di antara komunitas musik jazz, pemangku kebijakan, dan pihak penyelenggara festival.

Lintang Pramudia Swara