Di tengah perbincangan, tiba-tiba salah seorang dari mereka berujar, “Solat heula! Ngaing gé solat, ngan solatna béda,” (Shalat dulu! Saya juga shalat, tapi shalat-nya beda). Kenang seorang teman mengisahkan pertemuannya dengan para tetua Badui. Menurutnya, masyarakat Badui bahkan sudah “shalat” jauh sebelum Islam datang ke Tatar Pasundan.
Suku Badui merupakan kelompok etnis Sunda yang masih memegang teguh kepercayaan dan cara hidup leluhur Sunda. Lho, bukankah menurut versi umum sejarah, Hindu dan Buddha adalah agama yang berkembang di masyarakat Sunda sebelum Islam, kenapa orang Badui malah mengaku “shalat”?
Sebelum Islam datang ke Tatar Pasundan, Hindu dan Buddha memang telah lebih dahulu hadir di wilayah yang menjadi rumah bagi etnis Sunda ini. Namun, jika kita perhatikan, berbeda dengan wilayah di Jawa Tengah dan Timur yang kaya dengan peninggalan Hindu-Buddha seperti candi dan arca, jejak serupa nyaris tak ditemukan di Jawa Barat.
Apakah ini menandakan bahwa orang Sunda kurang religius dibandingkan dengan masyarakat Jawa? Ataukah ada cara yang berbeda dalam mengekspresikan keyakinan mereka?
Jika ditelisik lebih jauh, masyarakat Sunda kuno ternyata memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dari Hindu dan Buddha. Agus Aris Munandar, Guru Besar Arkeologi UI, mengungkapkan bahwa dalam naskah-naskah Sunda Kuno, memang tidak ditemukan uraian mengenai dewa-dewa Hindu-Buddha, melainkan konsep-konsep seperti “Sang Manon”, “Sang Taya”, dan “Sang Tunggal”.
Minimnya peninggalan arca atau candi di Jawa Barat juga menjadi indikasi bahwa ekspresi religius mereka lebih menekankan pada simbol-simbol abstrak daripada bentuk fisik. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan mereka terhadap Tuhan bersifat non-antropomorfik, yaitu menekankan esensi ketuhanan tanpa perwujudan fisik.
Jejak Kepercayaan Sunda Sebelum Hindu-Buddha
Kepercayaan asli orang Sunda sudah ada sebelum kedatangan Hindu dan Buddha, sebagaimana tersurat dalam tradisi lisan Pantun Aki Buyut Baju Rambeng yang diperkirakan berasal dari abad ke-18. Dalam episode Curug Si Pada Weruh, disebutkan:
Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea.
(Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.)
“Urang Hindi” yang dimaksud tampaknya merujuk pada raja-raja wangsa Warman yang berasal dari India, dinasti yang kemudian menjadi bagian dari garis keturunan raja-raja Sunda, atau bisa juga raja-raja Sunda lain yang pada umumnya menganut agama Hindu.
Pantun ini juga menegaskan diferensiasi agama orang Sunda dengan agama Hindu, yang datang kemudian dan dianut terutama oleh para penguasa Tatar Sunda.
Sanghyang Raga Dewata: Jejak Monoteisme dalam Kepercayaan Sunda Kuno
Salah satu naskah Sunda Kuno yang menggambarkan pandangan teologis masyarakat Sunda adalah Sanghyang Raga Dewata (1533 M). Dalam naskah ini, terdapat penggambaran konsep ketuhanan yang bersifat transenden dan non-material:
Tidak ada yang menjadikan Aku, tidak ada yang menciptakan Aku. Aku menamai diriku sendiri, Sang Hyang Raga Dewata.
Konsep ini menunjukkan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Sunda Kuno bukanlah entitas yang memiliki wujud fisik, melainkan sesuatu yang mandiri dan tak tercipta. Hal ini ditegaskan dalam bagian lain naskah:
Tanya Raga Dewata, “Mengapa namanya begitu? (Karena) datang tanpa rupa, tanpa raga, tidak terlihat. Akulah yang menciptakan tetapi tak terciptakan, Akulah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Akulah yang menggunakan, tetapi tidak digunakan.”
Konsep ini sejalan dengan gagasan ketuhanan dalam berbagai tradisi monoteistik, yang menekankan bahwa Tuhan bersifat mutlak, tak tercapai oleh panca indera, dan berada di luar ruang serta waktu.
Adaptabilitas Orang Sunda
Masyarakat Sunda Kuno tak serta-merta menerima ajaran Hindu dan Buddha secara mentah-mentah. Sebaliknya, mereka mereinterpretasi dan menyesuaikannya dengan kosmologi mereka yang lebih bersifat monoteistik. Meskipun mengadopsi istilah, konsep, atau nama dari agama yang datang dari luar, mereka tetap mempertahankan esensi kepercayaan asli yang telah mereka anut jauh sebelumnya.
Demikian juga setelah kedatangan Islam, selain proses konversi yang berlangsung relatif mulus, konsep dan ajaran keislaman turut mewarnai kepercayaan Sunda lama. Misalnya, dalam naskah Wawacan Sulanjana yang berasal dari sekitar abad ke-17 hingga ke-19, dikisahkan bahwa dewa-dewi Sunda merupakan keturunan Nabi Adam. Naskah ini juga memperkenalkan tokoh Idajil, yang dikaitkan dengan setan atau iblis dalam tradisi Islam, mencerminkan bagaimana kosmologi Islam mulai diadaptasi dalam kepercayaan Sunda.
Selain Wawacan Sulanjana, pengaruh Islam juga tampak dalam Babad Cirebon, yang menggambarkan peran Sunan Gunung Jati dalam Islamisasi Sunda dan bagaimana tradisi lokal diselaraskan dengan ajaran Islam.
Dalam perjalanannya, orang Sunda telah bersentuhan dengan beragam pandangan dan kepercayaan, namun jejak pandangan monoteistik dan non-antropomorfik para karuhun (leluhur) mereka tetap dapat ditemukan di setiap zaman. Melalui dinamika adaptasi, asimilasi dan reinterpretasi, orang Sunda tetap memandang keagungan Tuhannya dalam keesaan dan ketakterperian-Nya.
“Hana nguni hana mangké. Tan hana tunggal, tan hana dua. Tunggal hana tunggal tan hana.”
Ada dahulu, maka ada sekarang. Tiada yang satu, maka tiada yang dua. Yang satu ada, yang satu tiada.
(Sanghyang Siksakanda ng Karesian)