Tahu Cibuntu baru saja ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat pada Kamis (9/1/2025).
Keputusan ini menjadi pengakuan terhadap produk legendaris yang telah lama menjadi kebanggaan masyarakat Bandung.
Namun, di balik penghargaan ini, ironi besar tersimpan: banyak pengusaha tahu rumahan di Cibuntu terjebak dalam jeratan rentenir.
Cibuntu, sebuah kawasan di Kecamatan Bandung Kulon, dikenal sebagai sentra industri tahu sejak awal abad ke-20.
Menurut laporan final Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (2011), pengusaha tahu pertama di kawasan ini adalah Tjuan Eng.
Ia mendirikan pabrik tahu yang kemudian menjadi cikal bakal industri rumahan di Cibuntu. Namun, perkembangan usaha ini tidak selalu berjalan mulus.

Adi Ginanjar, dalam artikelnya di Ayo Bandung (2017), mencatat bahwa para pengusaha tahu rumahan kerap menghadapi kesulitan modal.
Ketika akses ke perbankan formal terasa sulit, mereka terpaksa beralih ke rentenir. “Pinjaman rentenir menjadi solusi cepat, tetapi bunga yang tinggi justru mencekik pengusaha kecil ini,” tulisnya. Kondisi ini menciptakan siklus utang yang sulit dihindari.
Industri tahu Cibuntu juga menghadapi tantangan dari limbah produksi. Dalam jurnal ENVIROSAN (2018), Raden Ayu Mutiara Artha Lestari mengungkapkan bahwa limbah cair dari pabrik tahu sering mencemari lingkungan.
Masalah ini menjadi beban tambahan bagi para pengusaha, yang harus mengalokasikan biaya untuk pengelolaan limbah. Sementara itu, tekanan ekonomi dari kompetisi pasar dan fluktuasi harga kedelai impor semakin menambah kesulitan mereka.
Ironi ini terasa semakin tajam ketika penghargaan WBTB diberikan. Tahu Cibuntu memang diakui sebagai bagian dari identitas budaya Jawa Barat, tetapi perjuangan para pengusaha di baliknya sering kali terabaikan.
Menurut Adi Ginanjar, “Kondisi mereka tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek sosial, seperti pendidikan anak dan kesehatan keluarga.”
Solusi untuk masalah ini sebenarnya telah banyak diusulkan. Salah satunya adalah program pengembangan sentra industri tahu yang berkelanjutan, seperti yang direncanakan dalam studi kelayakan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (2011).
Sayangnya, implementasi program ini sering terkendala birokrasi dan kurangnya dukungan berkelanjutan.
Di sisi lain, keberadaan koperasi juga dapat menjadi alternatif untuk memutus ketergantungan pada rentenir. Namun, tanpa pengelolaan yang baik dan kesadaran kolektif, koperasi sering kali gagal menjadi solusi jangka panjang.
Meskipun demikian, ada harapan. Pengakuan Tahu Cibuntu sebagai WBTB dapat menjadi momentum untuk meningkatkan perhatian terhadap kesejahteraan para pengusaha kecil.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung keberlanjutan industri ini.
Pada akhirnya, Tahu Cibuntu bukan hanya sekadar produk, tetapi juga simbol perjuangan masyarakat lokal.
Sebagai warisan budaya, ia harus dirawat, tidak hanya sebagai ikon, tetapi juga sebagai mata pencaharian yang layak.
Dengan demikian, pengakuan ini dapat benar-benar membawa manfaat bagi mereka yang telah menjaga tradisi ini selama bertahun-tahun.