Reflectry: Presentasi Karya Non-Representatif Ryan LH
Penulis: Dr. Ismet Zainal Effendi S.Sn., M.Sn

Uniknya, Ryan tidak menciptakan karyanya dalam konteks creation, seperti umumnya seniman, namun memilihnya (selection) dari lingkungan, lalu merekamnya dengan teknik fotografi.
Ryan “melukis” dengan cahaya sesuai marwah fotografi. Objek-objek yang dipilih Ryan merupakan objek yang selama ini teralienasi atau termarjinalkan, diabaikan dan dianggap sama sekali tidak penting.
Perkembangan seni rupa di era postmodern sangat pesat, baik pada skala nasional maupun global. Teknik, media dan jenis karya mengalami perkembangan baik secara visual maupun konseptual.
Klasifikasi karya seni semakin beragam, sehingga identifikasi karya pun semakin beragam dan mengalami banyak kebaruan, sehingga sangat sulit untuk dipisah-pisahkan satu sama lainnya.
Pencampuradukkan kode-kode (eclecticism), juga teknik dan media, menjadi orientasi kebanyakan seniman dalam berkarya saat ini, meskipun cara-cara konvensional juga masih deras dilakukan beberapa seniman.
Dengan demikian, bukan persoalan teknik, media, dan visualisasi saja yang menjadi fokus seniman saat ini, melainkan kebaruan (novelty) dan kemajuan (progression).
Karenanya, kredibilitas seniman diuji dalam kedua hal tersebut, juga publikasinya dalam bentuk pameran yang representatif.
Seni Rupa pada era modernisme (dimulai pada awal abad ke-19) adalah awal pergerakan seni rupa dalam konteks novelty ini.
Seni yang sebelumnya hanyalah sebagai sarana ritualistik dan mitik dalam konteks religiusitas, di era modern seniman-seniman berupaya keras mewujudkan seni hanya untuk kepentingan kesenian itu semata (art for art’s sake).
Mereka mencari kebaruan baik secara visual (style) maupun teknik dan media, maka tidaklah heran perayaan kemajuan dunia seni rupa saat itu sangat meriah dan bersifat sporadis terutama di benua Eropa dan Amerika.
Seniman tidak lagi berpikir kontemplatif saat proses penciptaan karya, namun lebih ke berpikir logis dalam bingkai saintifik, ini adalah pengaruh dari pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi era tersebut, sehingga resonansinya menular ke semua lini kebudayaan.
Di lini iptek marak dengan ditemukannya hukum-hukum dalam sains, dan penemuan-penemuan teknologi mutakhir, sementara di lini seni rupa, progresivitas itu ditunjukkan dengan bertumbuh dan berkembangnya aliran-aliran dalam seni rupa (terutama seni lukis).
Berbagai aliran mulai dari neo-klasikisme, realisme, berkembang terus sampai karya seni dengan kecenderungan minimalisme, dan diakhiri oleh gerakan Pop-Art sebagai pencetus atau awal dari arus kuat seni rupa postmodernisme.
Seni Rupa pada mulanya tentu merupakan upaya pengejawantahan gagasan dengan ekspresi pada karya seni secara visual, sehingga seni rupa dengan kata lain adalah bentuk representasi dari sebuah konteks atau gagasan.
Namun, di era modernisme, lahir kecenderungan karya seni dengan mengusung konsep menyederhanakan bentuk, sehingga secara visual karyanya sangat sukar dimengerti, karena hanya merupakan komposisi dari unsur-unsur seni rupa seperti garis, bentuk, warna dan tekstur.
Aliran tersebut dinamakan “seni rupa abstrak”, esensi utama yang dilakukan seniman dengan aliran tersebut adalah mengabstraksi bentuk dari sebuah konteks, sehingga secara visual tampak sederhana.
Dewasa ini, karya seperti itu dinamakan karya seni rupa non-representatif, karena secara visual karya ini seolah tidak merepresentasikan apapun selain unsur rupa tadi, sehingga subject-matter pada karya jenis ini tidak mudah untuk diidentifikasi bahkan terkesan disembunyikan (hidden).
Ryan LH pada pameran solo kali kelimanya, mempresentasikan karya-karya dengan kecenderungan non-representatif ini.
Pameran dengan tajuk “Reflectry: Too Good to Be True” yang digelar di Zen 1 Gallery, Bali ini didominasi dengan karya-karya yang secara visual sarat dengan abstraksi bentuk.
Dengan demikian, pemirsa hanya akan melihat komposisi dari unsur-unsur rupa yang harmonis, butuh proses kontemplasi untuk mencerna dan memahaminya lebih dalam.
Karya-karya yang ditampilkan Ryan umumnya berdimensi dua, dan beberapa karya ditampilkan dengan teknik dan media baru berupa relief, serta menunjukkan adanya lapisan-lapisan sebagai representasi dari sebuah proses.
Uniknya, Ryan tidak menciptakan karyanya dalam konteks creation, seperti umumnya seniman, namun memilihnya (selection) dari lingkungan, lalu merekamnya dengan teknik fotografi.
Ryan “melukis” dengan cahaya sesuai marwah fotografi. Objek-objek yang dipilihnya merupakan objek yang selama ini teralienasi atau termarjinalkan, diabaikan dan dianggap sama sekali tidak penting.
Singkatnya, Ryan sedang mempresentasikan hasil rekamannya sekaligus mengamplifikasi objek-objeknya secara lebih dekat, lalu mempresentasikannya kepada audiens dengan mengusung non-representative art.

Uniknya, Ryan tidak menciptakan karyanya dalam konteks creation, seperti umumnya seniman, namun memilihnya (selection) dari lingkungan, lalu merekamnya dengan teknik fotografi.
Ryan “melukis” dengan cahaya sesuai marwah fotografi. Objek-objek yang dipilihnya merupakan objek yang selama ini teralienasi atau termarjinalkan, diabaikan dan dianggap sama sekali tidak penting.
Bila kita cermati, karya-karya Ryan memiliki kode-kode jelas yang tervisualisasi, seperti komposisi non-formal balance, warna-warna yang didominasi warna turunan ke-tiga, serta tekstur dari efek korosi atau karat yang sangat kental.
Karat menjadi esensi dari karya-karyanya secara keseluruhan. Secara simbolik konteks karat ini seolah ingin ditekankan untuk menunjukkan aspek kronogram, sesuatu teks yang menujukkan memori atau berkaitan dengan waktu dan proses.
Karat atau korosi tidak terjadi begitu saja, tapi terjadi secara evolutif dengan berlapis (layers) tahapan, hal ini yang secara konotatif ingin disampaikan Ryan pada pamerannya kali ini.
Kita diarahkan untuk merenungi waktu dan menghargai proses. Ryan seolah mengajak audiens menikmati hasil proses dengan waktu yang lama. Karat adalah hasil proses yang lama dan menghasilkan entitas estetik sehingga layak untuk dihargai dan dinikmati.
Ryan juga mengaitkan simbolisasi karat ini dengan proses kehidupan (pribadinya), bahwa hidup ini makin lama akan semakin ‘berkarat’, semakin keropos dimakan waktu, dari muda menjadi tua, dari kuat menjadi lemah, dari lapang menjadi sempit, dari rumit menjadi sederhana, dan dari kompleks menjadi abstrak.
Ryan mengungkapkan kesadarannya dalam menjalani kehidupan ini, baginya hidup harus dinikmati bagaimanapun dinamikanya, karena itu adalah proses yang baik, akan membuahkan hasil yang indah untuk mencapai kebenaran.
Editor: Iman Haris M