Menghormati Akar (Ketokohan) Saini KM dalam Jagat Teater Indonesia Melalui Pentas Lakon Pangeran Sunten Jaya
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung akan pentaskan lakon Pangeran Sunten Jaya karya Saini KM pada Gelar Kreativitas 2024.
Pementasan yang diselenggarakan pada 24-25 Oktober di GK Sunan Ambu ISBI Bandung ini merupakan penghormatan atas akar dan ketokohan Saini KM dalam jagat teater Indonesia.
Pangeran Sunten Jaya: Inspirasi Kearifan Manusia Sunda dari Pantun Mundinglaya Dikusumah
Lakon Pangeran Sunten Jaya karya Saini KM merupakan lakon tentang kearifan lokal “Manusia Sunda” berdasarkan cerita pantun ‘Mundinglaya Dikusumah’.
Ditulis pada tahun 1973, lakon ini memenangkan “Sayembara Penulisan Lakon” Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun itu.
Lakon ini menggambarkan perjalanan spiritual berliku seorang manusia mencapai ‘Jabaning Langit’ (Ilahi) yang disimbolkan dengan ‘penemuan kesejatian diri’ melalui ‘Lalayang Salaka Domas’.
Sosok manusia itu adalah Mundinglaya Dikusumah, sang putra mahkota Prabu Siliwangi dan Nyai Padmawati, istri Prabu yang bukan Ratu.
Mundinglaya adalah manusia pilihan ‘Kahyangan’, ‘Buana Nyungcung’ dan Sanghyang Tunggal juga Sunan Ambu yang harus berhadapan dengan peringkat-peringkat tantangan, godaan, dan rintangan maha dahsyat menuju kesejatian diri.
Tak terkecuali harus berhadapan (dan menjadi korban fitnah) dari sosok-sosok bejat, terutama Sunten Jaya dan Ratu Tejamantri, yang sepenuhnya dilumuri oleh ambisi dan hasrat buta kuasa duniawi yang materialistik dan anti-spiritualitas.
Konsep Pertunjukan Lakon “Pangeran Sunten Jaya”
Genre pada pertunjukan Lakon Pangeran Sunten Jaya kali ini menggunakan pendekatan konseptual ‘kontemporer’, yaitu mengambil bagian-bagian inti teks atau lakon, hanya sepertiga lakon.
Pertunjukan yang disutradarai Fathul A. Husein ini mengusung kekuatan dramatik dan kedalaman filosofi (kearifan lokal) yang terkandung di dalamnya.
Keduanya terpadu dengan simbolisasi gerak/tari/tubuh, pencak-silat, rupa (visual), dan sensitivitas musikal ‘auratik’ dan senandung (tembang).
Sementara itu, karakter (tokoh dramatik) yang dimainkan hanya karakter-karakter tertentu saja yang paling dianggap merepresentasikan esensi tema dan peristiwa dramatik lakon dan sekaligus menggulirkan plot dan cerita.
Karakter yang ditampilkan hanya sepertiga dari 36 karakter definitif plus sebarisan prajurit, para pengiring, makhluk-makhluk ‘dunia langit’, makhluk-makhluk ‘dunia bawah/kelam’, dan lain-lain, sebagaimana tertulis dalam lakon.
Saini KM, Maestro Teater Indonesia asal Tatar Pasundan

Saini KM lahir di Sumedang, Jawa Barat 86 tahun yang lalu, tepatnya pada 16 Juni 1938. Ia menyelesaikan pendidikan di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris IKIP Bandung.
Pada tahun 1988-1995 Saini KM mendapat kepercayaan untuk menjadi Direktur ASTI Bandung (yang kemudian menjadi STSI Bandung, dan kini ISBI Bandung).
Di tahun 1985-1990, Saini KM juga menjabat sebagai Direktur Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud RI.
Di samping itu, Saini KM juga tercatat sebagai anggota Konsorsium Seni sejak tahun 1994 dan sebagai anggota Komisi Disiplin Seni sejak tahun 1999.
Ia juga aktif memelopori penyelenggaraan Art Summit Indonesia. Perhatiannya terhadap sastra dan teater telah tumbuh sebelum ia memasuki perguruan tinggi.
Latar belakang itulah yang kemudian mendorongnya mengambil prakarsa untuk mendirikan Jurusan Teater di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, tahun 1978, dan hingga pensiun menjadi dosen tetap pada kampus yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan kini ISBI Bandung tersebut.
Saini KM juga melakukan kegiatan di bidang kesenian, khususnya di bidang sastra dan teater. Di bidang sastra ia aktif menulis esai dan puisi.
Tiga buah buku puisinya yang telah diterbitkan adalah Nyanyian Tanah Air (Mimbar Demokrasi Press, 1969), Rumah Cermin (Sargani dan Co., 1979), dan Sepuluh Orang Utusan (PT. Granesia, 1989). Kumpulan esai sastranya yang diterbitkan adalah Protes Sosial dalam Sastra (Angkasa, 1983).
Di bidang teater, Saini KM telah menulis puluhan lakon. Ia pernah memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1973 untuk lakon Pangeran Sunten Jaya, tahun 1977 untuk lakon Ben Go Tun, pada tahun 1978 untuk lakon Egon, serta tahun 1981 untuk lakon Serikat Kacamata Hitam dan Sang Prabu.
Dua lakon yang ditulisnya untuk anak-anak memenangkan sayembara yang diadakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan (Depdikbud) RI, yaitu Kerajaan Burung (1980) dan Pohon Kalpataru (1981).
Lakon Sebuah Rumah di Argentina (1980) memenangkan hadiah dalam Sayembara Penulisan yang diadakan oleh Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) Jakarta Raya, 1980.
Esai tentang teater yang ditulis Saini KM terhimpun dalam buku Beberapa Gagasan Teater (Nurcahaya, 1981), Dramawan dan Karyanya (Angkasa, 1985), Teater Modern dan Beberapa Masalahnya (Binacipta, 1987), dan Peristiwa Teater (Penerbit ITB, 1996).
Pada tahun 1999 terbit himpunan 5 judul karya lakonnya: Ben Go Tun, Dunia Orang Mati, Madegel, Egon, dan Orang Baru, dalam satu judul antologi, Lima Orang Saksi.
Himpunan lakon tersebut diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku pada tahun 2000. Lakon Ken Arok (Balai Pustaka, 1985) mendapat penghargaan sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud RI pada tahun 1990.
Karya lakon paling mutakhir yang ditulis Saini KM pada era tahun 2000-an, yakni Darah di Taman Firdaus dan Mesjid Al-Walet.
Rahasia: Manuskrip Terakhir Saini KM
Satu manuskrip drama terakhir dari Saini KM masih tersimpan dalam map dan masih berupa tulisan tangan.
Mungkin manuskrip tersebut belum sempat diketiknya lantaran Saini KM kesulitan mengetiknya karena keterbatasan kesehatan fisik di usianya yang makin senja.
Manuskrip tersebut kemungkinan ditulisnya pada tahun 2021 atau 2022 (di usia 83 atau 84). Tidak mudah juga bagi orang lain untuk membantu mengetiknya karena ada banyak bagian dari manuskrip tulisan tangan tersebut yang sulit dibaca, terutama coretan-coretan dan tanda petunjuk (garis panah) yang entah menuju ke bagian mana.
Sementara itu, untuk berkomunikasi dengannya tentu semakin ‘tidak mudah’. Meskipun demikian, harus ada upaya untuk ‘menyelamatkan’ manuskrip tersebut.
Judul drama dalam manuskrip tersebut, sesuai pengakuannya dan tertera di bagian halaman depan manuskrip, adalah ‘Rahasia’.