Ilustrasi: Sound Horeg (AI generated image by Ideogram.ai)

Sound Horeg: Budaya atau Polusi Suara?

Penulis: Dhimas Wildan Azis W
Editor: Iman Haris M

Sound Horeg: Antara Budaya dan Polusi Suara

Sound Horeg, fenomena yang viral belakangan ini menuai pro kontra masyarakat. Apakah tradisi ini budaya yang perlu dilestarikan, atau sekedar euforia massa yang menghasilkan polusi suara?

Kehadiran Sound Horeg mewarnai berbagai perayaan di masyarakat, mulai dari HUT kemerdekaan hingga hari-hari besar keagamaan seperti malam takbiran dan maulid nabi terutama di daerah Jawa.

Tradisi yang viral sejak akhir tahun 2023 lalu ini menjadi sorotan baik di media sosial maupun media massa. Ada yang mengapresiasinya, namun tidak sedikit pula yang merasa terganggu dan mencibirnya.

Apa itu Sound Horeg?

Sound Horeg adalah parade atau karnaval menggunakan truk bermuatan sound system besar dan banyak yang menghasilkan dentuman suara musik kencang hingga menghasilkan getaran di sekitarnya.

Sebutan Sound Horeg sendiri berasal dari dua bahasa. Kata ‘sound’ yang berarti ‘suara’ berasal dari bahasa Inggris, sementara kata ‘horeg’ yang berarti ‘bergerak’ atau ‘bergerak’ berasal dari bahasa Jawa.

Parade Sound Horeg meliputi para penari yang mengiringi truk bermuatan sound system dan dihiasi dengan lampu berwarna-warni serta berbagai macam hiasan lainnya. Iring-iringan ini kemudian berjalan menyusuri pemukiman warga.

Meski fenomena ini terdengar menyenangkan bagi sebagian masyarakat, namun tidak sedikit juga yang menganggap kegiatan ini sangat menganggu dan tidak layak disebut sebagai budaya.

Pro dan Kontra

Sound Horeg sempat menjadi topik hangat di media sosial bahkan memicu pro dan kontra antara masyarakat yang senang dengan fenomena ini, dan mereka yang merasa terganggu.

Banyak warga setempat yang dilewati iring-iringan Sound Horeg merasa terganggu, hingga tidak jarang menimbulkan percekcokan dan perselisihan di antara warga.

Banyak media massa yang memberitakan keresahan warga lantaran jendela rumah mereka rusak akibat guncangan yang dihasilkan oleh parade Sound Horeg, belum lagi bayi dan warga yang tengah sakit juga merasa terganggu.

Lebih parah lagi, Sound Horeg juga dikabarkan telah merenggut jiwa, sebagaimana diilansir VIVA.co.id (12/09/2023). Seorang kakek di Jabung, Kabupaten Malang diberitakan meninggal akibat intensitas suara yang tinggi karnaval Sound Horeg.

Pro kontra juga muncul di media sosial. Banyak netizen yang beranggapan bahwa Sound Horeg adalah produk budaya masyarakat bawah yang tak berfaedah. Seperti terlihat dari salah seorang netizen di kolom komentar sebuah konten Youtube.

Menurutnya, “Maaf apa saya bilang di sana masyarakatnya kurang berpendidikan? Apa Polisi dan bupatinya tidak mampu menanganinya?”

“Saya pikir kalau mereka suka, pesawat tempur Sukoi TNI bisa terbang rendah di situ dengan suara supersonic bisa memuaskan telinga mereka. Kebebasan itu tidak boleh menganggu hak orang lain,” tegas netizen tersebut.

Perlu Modifikasi dan Regulasi Budaya?

Redy Eko Prastyo, seorang budayawan, dalam podcast mooifilms mengungkapkan bahwa fenomena Sound Horeg merupakan bentuk kreativitas masyarakat dalam menyikapi perayaan seperti hari kemerdekaan atau hari-hari besar lainnya.

Namun demikian, menurut Redy kreativitas ini sudah menganggu kenyamanan masyarakat dengan kerasnya suara sound, karenanya perlu modifikasi budaya Sound Horeg ini dengan budaya kearifan lokal setempat.

Di samping itu, diperlukan juga regulasi terhadap volume suara dan jumlah sound yang dipasang agar tidak menganggu masyarakat, baik secara medis, sosiologis, psikologis maupun budaya dan kearifan lokal setempat.

Dengan demikian, sebagai sebuah kreativitas dan ekspresi perayaan, tradisi Sound Horeg akan terus berkembang jika mampu beradaptasi dengan kearifan lokal sehingga dapat diterima bahkan didukung masyarakatnya.

Sebaliknya, tanpa upaya adaptasi, modifikasi dan regulasi, kegiatan ini mungkin hanya akan terus menimbulkan pro kontra bahkan konflik di tengah masyarakat dan dianggap sebagai polusi suara.

Penulis
Dhimas Wildan Azis W
Mahasiswa Prodi Integrated Arts
Fakultas Filsafat
Universitas Parahyangan Bandung

*Kader Jurnalistik Budaya
Bandung Music Council & SemestaBudaya.ID

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Satu pemikiran di “Sound Horeg: Budaya atau Polusi Suara?”