Sedhut Senut di Bandung: Bawakan Canda Jawa dan Jalin Kerjasama Budaya

Sedhut Senut di Bandung: Bawakan Canda Jawa dan Jalin Kerjasama Budaya

Bentangan kain putih bergambar sepasang foto, yang menyerupai foto presiden dan wakilnya, menjadi latar belakang pertunjukan sandiwara berbahasa Jawa yang ditampilkan Sedhut Senut di halaman Rumah Pemajuan Kebudayaan Jendela Ide Indonesia di Bandung pekan lalu (Rabu, 02/10/2024).

Sandiwara ini mengangkat kisah keseharian di sebuah kampung, saat Pak RT dan dua warganya membincang keberhasilan mereka mengumpulkan uang kas dari Badan Usaha Milik RT (BUMRT).

Badan usaha tersebut mendapatkan keuntungannya dari pengelolaan parkir, usaha angkringan, toilet umum, hingga pertunjukan kesenian Jathilan yang ada di daerahnya.

Konflik terjadi saat Pak RT harus menghadapi tuntutan warga, antara yang ingin bersenang-senang pesta dangdutan dengan warga yang menginginkan piknik. Dinamika semacam ini memang menuntut seorang pemimpin untuk bertindak adil dalam mengelola konflik kepentingan di tengah warganya.

“Kami sempat ragu karena pementasan kami berbahasa Jawa, tapi kami bawakan di lingkungan yang berbahasa Sunda. Siapa yang akan mengerti apa yang kami sampaikan?” ujar Mas Komeng, salah satu personel Sedhut Senut mengenai pertunjukan mereka.

Namun respon penonton yang hadir meredakan kekhawatirannya, “Akhirnya kami fokus pada demonstrasi, tapi kemudian ada satu anak remaja yang ternyata bisa memahami isi pertunjukan kami,” ungkapnya lega.

Pertunjukan yang merupakan potongan dari naskah utuh karya punggawa Sedhut Senut tersebut memang mampu menarik perhatian penonton yang hadir. Dialog antar pemain yang terkadang spontan diimbuhi celetukan penonton yang merespon dialog antar pemain.

Sedhut Senut di Bandung: Bawakan Canda Jawa dan Jalin Kerjasama Budaya (Foto: Jendela Ide Indonesia)

Sebagaimana diungkap Mas Komeng, walaupun seluruh dialog dalam sandiwara tersebut menggunakan bahasa jawa, penonton tampaknya tetap dapat mengikuti cerita yang dilakonkan.

Hal ini terlihat dari tanggapan penonton dalam sesi diskusi setelah sandiwara selesai, termasuk dari Biron, remaja yang dimaksud Mas Komeng dalam keterangannya. Pelajar SMP tersebut sengaja datang dari rumahnya di Gegerkalong untuk menyaksikan pertunjukan yang diselenggarakan di kawasan Dago ini.

Sebagian penonton juga mengaku bahwa penampilan Sedhut Senut mengingatkan mereka pada model sandiwara Sunda yang pernah berjaya di era 1970an.

Kehadiran Sedhut Senut di Bandung sendiri merupakan bagian dari realisasi Program Strategi Keberlanjutan Organisasi  Lembaga Kebudayaan Publik yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sebelum pertunjukan sandiwara, digelar pula kegiatan Ramu Saji yang merupakan salah satu mata program Rumah Pemajuan Kebudayaan Jendela Ide.

Ramu Saji kali ini menampilkan proses pembuatan garam rempah, bekerjasama dengan Pamolahan Sangkuriang. Garam rempah merupakan campuran berbagai rempah dengan garam kerosok yang mampu menjadi penyedap rasa untuk masakan, sekaligus pengganti MSG.

Pertunjukan sandiwara berbahasa Jawa dari Sedhut Senut merupakan bagian dari lawatan budaya mereka di Jendela Ide Indonesia yang berlangsung selama tiga hari, mulai dari 1 hingga 3 Oktober 2024.

Mereka mengaku bahwa model kerjasama antar lembaga kebudayaan publik dengan saling berkunjung untuk bertukar pengalaman semacam ini sangat bermanfaat, terutama dalam hal pengelolaan organisasi. Fokus kegiatan yang berbeda diantara kedua lembaga justru menjadi nilai lebih dari pertemuan mereka.

Kelompok Sedhut Senut merupakan lembaga budaya asal Bantul Yogyakarta yang fokus pada pengembangan objek pemajuan kebudayaan bahasa daerah Jawa. Lembaga yang berdiri sejak tahun 1998 awalnya bernama Sego Gurih, kemudian pada tahun 2017 berubah menjadi Sedhut Senut.

Sementara itu, Jendela Ide Indonesia berdiri sejak 1995, awalnya lebih fokus pada kegiatan anak dan remaja. Seiring waktu Jendela Ide berkembang menjadi lembaga budaya dengan fokus pada pengembangan pengetahuan dan teknologi tradisional.

Kehadiran Sedhut Senut di Bandung kali ini tentu lebih dari sekedar sebuah pertunjukan sandiwara, tetapi lebih dari itu, juga merupakan jalinan kerjasama antar komunitas budaya yang mesti dipertahankan dan dikembangkan lagi, utamanya dalam memperkuat upaya pemajuan kebudayaan.

Editor: Iman Haris M

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *