Tujuh Layar Menyisir Langit: Rajutan Ingatan, Mitos, dan Krisis Ekologis dalam Karya Iwan Yusuf

"Tujuh Layar Menyisir Langit" di Selasar Sunaryo: eksplorasi Iwan Yusuf atas Pinisi, perjalanan budaya, dan krisis ekologis laut Nusantara.

Di Selasar Pavilion, Selasar Sunaryo Art Space, delapan kuintal jaring bekas menjelma menjadi layar kapal, tubuh manusia, dan gumpalan awan yang menggantung di udara. Seperti pelaut yang menenun kembali jalannya di laut luas, Iwan Yusuf menghadirkan “Tujuh Layar Menyisir Langit”—sebuah pameran tunggal yang membentangkan narasi antara mitos, waktu, dan luka ekologis.

Sejak 25 April 2025, Selasar Pavilion berubah menjadi dermaga ingatan. Di tengah ruang putih yang lapang, pengunjung disambut instalasi kapal Pinisi raksasa dengan layar-layar jaring membentuk sosok manusia. Seperti kata kurator Agung Hujatnikajennong, di tangan Iwan, “Pinisi bukan sekadar kapal, tetapi juga menjadi jalan masuk untuk memahami mitos-mitos.”

Bayi Perahu — Kayu, jaring bekas, plat besi, tali, senar, dryer copotan gitar, dan per. Dimensi bervariasi. 2025. (Foto: SemestaBudaya.ID)

Iwan Yusuf, yang dikenal luas berkat lukisan hiperrealisnya di awal 2010-an, kini bergerak ke ranah instalasi trimatra. Mengumpulkan jaring bekas dari kampung-kampung pesisir Bulukumba—Ara, Bira, Lemo-Lemo—ia menganyam ulang fragmen kehidupan nelayan menjadi lambang perjalanan, perjumpaan, dan perpisahan.

Di salah satu sisi pavilion, tergantung instalasi kecil menyerupai perahu dengan layar tambal-sulam. Tali-tali dan benang warna-warni mengikat layar itu ke berbagai arah, seperti mempertahankan keseimbangan di tengah badai. “Iwan memulung jaring-jaring yang telah rusak dan kehilangan fungsinya, untuk merajut makna baru dari narasi-narasi tentang peradaban,” ungkap Agung.

15.02.25 — Plat stainless, kayu, tali tampar, kanvas, timah, dan benang. Dimensi bervariasi. 2025. (Foto: SemestaBudaya.ID)

Di ruang yang sama, pengunjung disuguhi karya yang lebih intim: gitar dan kecapi bertaut senar, disulap menjadi kapal yang tergantung pada dinding cermin berombak. Not Khatulistiwa, sebuah refleksi berkelindan yang membuyarkan batas antara daratan, lautan, dan langit.

Not Khatulistiwa — Gitar, kecapi, dan senar. Dimensi bervariasi. 2025. (Foto: SemestaBudaya.ID)

Meninggalkan ruang dalam, di pintu masuk Pavilion, awan raksasa dari serat putih kekuningan menjulang hingga atap. Awan ini bukan sekadar dekorasi, tetapi metafora tentang waktu yang berhenti, tentang langit yang turun menyentuh bumi. Sebuah sapuan langit yang dibekukan.

Bottilangi – jaring, senar, besi holo, cable ties, dan kawat. Dimensi bervariasi. 2025 (Foto: SemestaBudaya.ID)

Puncak malam pembukaan diramaikan pertunjukan teatrikal visual oleh Lena Guslina dan Gul Kepleh. Di atas struktur menyerupai perahu, tubuh-tubuh mereka bergerak dalam harmoni dengan cahaya biru, menciptakan suasana magis yang melengkapi keseluruhan pengalaman pameran.

Berangkat – Pementasan visual oleh Lena Guslina dan Gul Kepleh (Foto: SemestaBudaya.ID)

Namun, di balik keindahan visual itu, pameran ini menyuarakan seruan pilu tentang kondisi laut hari ini. Laut tak lagi hanya dipuja sebagai sumber kehidupan, tapi juga menjadi “ladang, tambang, tong sampah,” catat Agung, mengingatkan bahwa eksploitasi dan polusi telah menggerus warisan laut kita.

Lewat Tujuh Layar Menyisir Langit, Iwan Yusuf mengingatkan kita bahwa kita semua, pada akhirnya, adalah pelaut dalam perjalanan panjang—menyusuri ingatan, mitologi, dan krisis ekologis yang tak bisa kita abaikan.

"Tujuh Layar Menyisir Langit" di Selasar Sunaryo: eksplorasi Iwan Yusuf atas Pinisi, perjalanan budaya, dan krisis ekologis laut Nusantara.
Interaksi pengunjung pada pembukaan pameran Tujuh Layar Menyisir Langit. (Foto: SemestaBudaya.ID)

Pameran ini bukan hanya tentang karya seni, tetapi juga pengingat akan krisis ekologis yang nyata. Tujuh Layar Menyisir Langit masih dapat dikunjungi hingga 29 Juni 2025 di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *